Yogyakarta (ANTARA News) - Rakyat Yogyakarta sampai kini masih mempercayai Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai raja, panutan dan pewaris tahta yang tidak bisa dipengaruhi oleh suara-suara yang datang dari mana saja.

Sebagai raja, Sultan HB X dipercaya memegang kekuasaan sehingga kehadirannya di beberapa tempat selalu menarik perhatian," kata Drs.Arwan Tuti Artha, penulis buku `Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana`, di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, sampai kini belum banyak buku tentang Sultan yang ditulis orang. Padahal, dia jadi raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah cukup lama.

"Sultan HB X hanya dikenang, tetapi tidak dibaca kearifannya, kekuatan spiritualnya, dan riwayat dirinya melalui buku," kata Arwan yang kini masih berstatus wartawan SKH `Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta.

Ia mengatakan, mengenai Sultan HB X, persoalannya menjadi menarik justru pada 28 Oktober 2008 kesiapannya menjadi presiden disampaikan kepada publik dalam acara `pisowan ageng` yang berlangsung di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Keputusannya mendeklarasikan sebagai calon presiden dilakukan setelah suami Kanjeng Gusti Ratu (GKR) Hemas itu menempuh laku spiritual.

"Pernyataan itu saya tangkap sebagai `sabda pendita ratu`. Sebagai sabda yang diucapkan raja, memang tidak boleh berubah-ubah.`Tan kena wola-wali` yang artinya jka sabda itu untuk presiden, mengapa harus berubah menjadi wakil presiden," katanya.

Menurut dia, justru Sri Sultan HB X mencalonkan diri sebagai presiden, maka buku tentang Sultan menjadi menari dan ada rohnya.Pencalonan Sultan HB X, menjadi menggemparkan dan mengundang berbagai reaksi termasuk reaksi alam yaitu dengan datangnya puting beliung.

Pencalonannya memang mengundang reaksi beragam. Dalam jajak pendapat ada sejumlah reaksi, diantaranya menolak Sultan sebagai presiden karena dinilai lebih baik menjadi raja saja atau menjaga Yogyakarta agar tetap menjadi Daerah Istimewa.

"Reaksi lainnya adalah mendukung Sultan HB X menjadi presiden dengan pertimbangan dia bersih, jujur dan mampu atau setidaknya sudah memiliki pengalaman memimpin dengan tenang,kharismatik dan tak ada gejolak," katanya.

Dalam jagad spiritual, menurut Arwan, ada tanda-tanda yang sudah dibaca dan dipercayai sebagian orang yaitu karena terawang spiritual meneguhkan jika tusuk konde yang dulu mengangkat Soeharto menjadi presiden, kini berada di Keraton Yogyakarta.

"Ini memang hanya sebuah terawang spiritual, sehingga kita harus memahaminya secara arif. Tusuk konde itu semula dikenakan Bu Tien Soeharto, yang kemudian menghilang ketika dia wafat, dan berlanjut lengsernya Soeharto. Jika sekarang sudah ditemukan dan bersemayam di keraton, tentunya tanda-tanda itu sudah bisa dibaca," katanya.

Ia mengatakan, buku yang ditulisnya ini hanya sebuah alur berpikir seorang jurnalis. Ditulis tanpa melakukan perjumpaan dengan Sultan HB X secara fisik, tetapi studi teks di berbagai bahan tulisan.

"Jadi, saya menulis buku sebagaiman seorang wartawan bekerja yang tetap mengandalkan pada narasumber, opini dan fakta.Hanya saja agak terlalu sulit membuktikan fakta dari dunia spiritual," katanya.

Selain menulis buku tersebut, Arwan Tuti Artha sebelumnya juga menulis buku tentang keluarga mantan Presiden Soeharto, antara lain `Bu Tien,Wangsit Keprabon Soeharto`, Dunia Spiritual Soeharto. Kudeta Mei 98 dan Satria Pinilih. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009