Jakarta (ANTARA) - Titik cerah mulai tampak ketika hampir sebagian besar negara di dunia mulai mampu mengendalikan kasus COVID-19 di negaranya masing-masing. Meskipun pandemi sempat meluluhlantakan segala sendi, termasuk perekonomian global, sehingga negara yang mampu melewati pandemi ibarat bisa lolos dari lubang jarum.

Dan setelah pandemi kini, semua negara tak ubahnya dengan Indonesia menghadapi ancaman baru, yakni jebakan krisis pangan.

Perekonomian Indonesia yang mulai pulih, bisa saja terguncang bila bangsa ini tidak dapat keluar dari jebakan krisis pangan.

Terdapat tiga persoalan yang dihadapi Indonesia yang dapat membawa Indonesia pada jebakan krisis pangan, yaitu gejolak iklim, kontraksi keamanan dunia dan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.

Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) sepakat pada pernyataan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko, yang menyebut gejolak iklim dunia dalam 4 tahun terakhir seolah menguntungkan Indonesia karena bersifat basah atau lanina.

Lahan sawah penghasil padi dapat berproduksi nyaris sepanjang tahun karena air selalu tersedia. Dampaknya Indonesia mendapat berkah bebas impor beras medium. Impor beras hanya terbatas untuk beras khusus, yaitu beras kesehatan dan beras untuk warga ekspatriat.

Indonesia juga diuntungkan dengan varietas padi hasil riset Kementerian Pertanian yang potensi hasilnya dapat mencapai 8-12 ton per hektare, meskipun produksi rata-rata nasional 5,2 ton per hektare. Masih terdapat peluang untuk meningkatkan hasil dengan mengisi ceruk antara potensi hasil dan rata-rata hasil.

Jenderal Purnawirawan Moeldoko juga benar bahwa pola gejolak iklim tak selamanya bersifat basah, tetapi juga berpeluang menjadi sangat kering atau el nino yang juga rawan kebakaran.

Ketika el nino, maka padi menjadi tanaman pangan paling rentan. Musababnya mayoritas padi Indonesia bukanlah padi gogo asal lahan kering, tetapi berasal dari lahan sawah yang butuh pasokan banyak air.

Pada konteks ini Indonesia tidak boleh bertahan mengandalkan padi sebagai komoditas tunggal tanaman pangan. Bila tetap mengandalkan beras, maka krisis pangan yang mengancam kedaulatan pangan sangat mungkin terjadi, sehingga harus diantisipasi.

Di sisi lain jumlah impor pangan non-beras, seperti gandum semakin tinggi. Padahal, kontraksi keamanan dunia yang dipicu konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan banyak negara produsen menghentikan ekspor.

Tercatat sudah 9 negara yang pernah menghentikan ekspor gandum, seperti Kazakhstan Kirgistan, India, Afghanistan, Aljazair, Kosovo, Serbia dan Ukraina. Gandum sebagai bahan baku tepung terigu sudah seperti makanan pokok kedua bagi masyarakat di Indonesia.

Kebiasaan konsumsi gandum yang banyak dilakukan masyarakat modern di Indonesia ini juga sangat problematis.

Tragisnya generasi baru di Tanah Air semakin akrab dengan makanan instan berbahan baku gandum, sehingga seiring pertambahan jumlah penduduk ada kecenderungan semakin meningkatkan impor gandum.

Maka Indonesia hanya dapat keluar dari jebakan krisis pangan jika mampu memilih komoditas pendamping bagi beras dan gandum yang tepat. Komoditas tersebut harus dapat dikembangkan secara masif pada daerah-daerah yang sesuai.

Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) menyambut baik upaya pemerintah melakukan diversifikasi pangan berbasis tanaman pangan lokal.

Komoditas pangan lokal berupa sagu dan sorgum dapat menjadi pilihan utama sebagai pendamping beras dan gandum.

PERAGI dengan 32 komisariat daerah (Komda) di 32 provinsi siap untuk mengawal pengembangan kedua komoditas tersebut. PERAGI beranggotakan para ahli agronomi yang berbasis di universitas, lembaga riset, dan swasta dengan Komda termuda di Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat.


Sagu dan Sorgum

Sagu menjadi pilihan karena merupakan pangan lokal utama yang sudah dikenal masyarakat Indonesia. Sagu akrab digunakan masyarakat dari paling barat hingga paling timur Indonesia. Bahkan, di Pulau Jawa, sesungguhnya sagu adalah makanan pokok sebelum beras, sama seperti halnya masyarakat Papua.

Hal tersebut terbukti dari sebutan sego di Suku Jawa atau sega di Suku Sunda untuk menyebut nasi. Kata sego atau sega sebetulnya merujuk pada sagu untuk menyebut nasi.

Produksi sagu per pohon juga tinggi, karena bervariasi dari 300 kg per pohon hingga 1.000 kg per pohon. Pada sagu varietas unggul, potensi hasil sagu dapat mencapai 100 ton per hektare.

Pada konteks ini sagu dapat dipandang sebagai tanaman pangan paling produktif karena mampu menghasilkan 20-40 ton pati kering per hektare per tahun.

Tepung asal sagu juga dapat dicampur dengan tepung gandum dengan porsi 10-20 persen tanpa mengubah rasa secara signifikan, sehingga dapat mengurangi jumlah impor gandum. Bila industri Indonesia dapat mengganti 20 persen gandum dengan sagu, maka Indonesia dapat menghemat devisa Rp4,8 triliun.

Sementara komoditas kedua, yaitu sorgum juga berpeluang karena produktivitasnya tinggi. Sorgum juga multimanfaat karena semua bagian tanaman dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

Bijinya diolah menjadi beras dan tepung, sementara batangnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada sorgum manis batangnya bahkan dapat digunakan sebagai bahan baku gula cair, kecap, hingga bioetanol.

Sorgum layak dikembangkan karena relatif tahan terhadap perubahan iklim. Ia dapat hidup di lahan kering dengan potensi ratun 2-3 kali. Ratun adalah teknik menumbuhkan kembali batang tanaman yang telah dipanen. Dengan teknik yang tepat, ratun dapat menghemat biaya benih serta biaya pengolahan lahan.

Upaya memasifkan produksi dan konsumsi sagu dan jagung hanya dapat terwujud bila semua pihak bersinergi. Beragam riset untuk bibit unggul sagu dan sorgum telah ditemukan. Demikian pula teknologi budi daya telah dikuasai. Yang masih menjadi kendala adalah tarikan kebutuhan pasar agar rantai pasok berjalan.

Hanya dengan dukungan dunia industri dan perubahan pola konsumsi yang mengarah pada sagu dan sorgum, maka budi daya keduanya dapat tumbuh. Di sisi lain sistem pertanian korporasi berbasis teknologi harus menopangnya.

Tentu Indonesia tak boleh mengulangi kesalahan kedua dengan mengabaikan pangan lokal lainnya, seperti ketela, porang, atau talas. Pilihan pada beras, sagu, sorgum harus dikembangkan tanpa menghilangkan pangan lokal lain yang beragam. Dengan cara itulah ekonomi bangsa ini akan semakin tangguh.


*) Prof. Dr. Ir. Muhammad Syakir adalah Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI)

Copyright © ANTARA 2022