Beijing (ANTARA) - Luya, penyanyi virtual yang diterima di sekolah musik China pada tahun ajaran baru tahun ini, baru-baru ini mencuri perhatian.
Para siswa musik vokal di Shanghai Conservatory of Music dapat duduk di kelas mereka dengan teman sekelas berwujud digital yang mampu bernyanyi dengan nada vokal yang berkarakter dan nyata, serta sepenuhnya dijalankan oleh algoritma kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Gadis anime berambut merah muda yang dikembangkan oleh iFLYTEK, perusahaan AI dan teknologi wicara terkemuka di China, merupakan contoh kegemaran dan mode industri baru di negara itu, yang menyoroti dorongan kuat di sektor korporasi untuk beralih ke digital, meskipun beberapa orang menganggapnya sebagai aksi publisitas.
Bulan lalu, NetDragon, pengembang gim daring (online) yang berbasis di Fuzhou, menunjuk CEO bergilir berwujud virtual untuk anak perusahaannya. Mereka bertekad untuk "mempromosikan penuh strategi manajemen perusahaan yang didukung AI dan upaya untuk membangun struktur metaverse," menurut rilis perusahaan tersebut.
Masih belum jelas bagaimana wanita pemimpin jajaran eksekutif bernama Tang Yu ini, yang telah bekerja untuk perusahaan itu selama lima tahun, dapat meningkatkan keahlian manajerial perusahaan teknologi informasi (TI) itu, tetapi NetDragon telah mencoba untuk menunjukkan bahwa inisiatif pekerjaan AI mereka bukan sekadar sensasi.
Sejak 2018, sekelompok manajer virtual berteknologi AI yang dipekerjakan oleh perusahaan itu telah memproses lebih dari 300.000 aplikasi, mengeluarkan sekitar 500.000 peringatan bisnis, dan membagikan sekitar 1.200 penghargaan dan hukuman, kebanyakan merupakan rutinitas harian.
Luya, sang musisi, memang memamerkan keterampilan yang tak tertandingi oleh teman-teman sekelasnya di dunia nyata. Lebih dari sekadar idola virtual, dia dapat dengan mudah memadukan genre yang beragam, membuat orkestrasi, menganalisis akor yang rumit, dan menjelajahi kemungkinan yang lebih luas untuk membuat musik menjadi sangat menyenangkan.
Raksasa-raksasa internet di China juga bergerak cepat untuk memanfaatkan potensi tersebut. Baidu meluncurkan manusia digital bernama Xi Ling, yang dapat menyediakan layanan live streaming selama 24 jam per hari dan 7 hari sepekan tanpa kenal lelah, serta mengganti riasan dan pakaian dengan cepat atas permintaan seseorang untuk meningkatkan pengalaman berbelanja.
Ayayi, influencer lain yang didukung teknologi AI, bergabung dengan raksasa retail daring Alibaba sebagai manajer digital. Di platform streaming dan berbagi video milik Bilibili, para live streamer virtual diatur untuk membuka kolom khusus guna bersaing dengan rekan-rekan mereka di dunia nyata.
Sejumlah stasiun televisi China juga mengikuti tren itu. Mereka mengizinkan pembawa acara berwujud digital untuk menyiarkan berita, gerakan yang dirancang untuk menarik perhatian di masa sekarang, tetapi diharapkan dapat merevolusi lanskap media di masa depan.
Lu Yanxia, analis dari firma konsultan pasar IDC, mengatakan bahwa manusia digital AI telah menunjukkan nilai komersial yang nyata di beberapa sektor, dan semakin banyak dari mereka akan bekerja sama dengan manusia di masa depan.
Tetapi sosok-sosok digital seperti itu harus diperkenalkan ke dalam skenario mereka yang tepat dan memerlukan kesabaran dalam mengejar pertumbuhan pasar, imbuh Lu.
Dalam rencana untuk memfasilitasi pengembangan ekonomi digital dalam periode Rencana Lima Tahun ke-14 (2021-2025), China menargetkan untuk memperdalam integrasi teknologi AI, realitas virtual (virtual reality/VR), dan teknologi 8K serta memperluas penerapannya di jejaring sosial, belanja, hiburan. dan pameran.
Menurut data dari iiMedia Research, nilai pasar di China yang didorong oleh manusia virtual diperkirakan akan mencapai 640,27 miliar yuan (1 yuan = Rp2.142) atau sekitar 92,45 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp14.923) pada 2025, demikian Xinhua.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022