Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis pulmonologi dan pengobatan pernapasan (paru-paru) Erlina Burhan kembali mengingatkan kepada masyarakat pentingnya mendapat vaksinasi penguat atau booster untuk melindungi diri dari keparahan penyakit dan kematian akibat COVID-19.

"Untuk vaksinasi primer Indonesia bagus, vaksin pertama 86 persen, kedua 72 persen, namun yang menjadi masalah adalah capaian untuk vaksinasi booster atau suntikan ketiga masih rendah sekitar 26 persen," ujarnya dalam media briefing "Pentingnya Vaksinasi Booster dalam Melindungi Masyarakat dari Akibat Serius Penyakit COVID-19 Termasuk Rawat Inap dan Kematian" di Jakarta, Kamis.

Ia menekankan, vaksinasi booster sangat efektif untuk melindungi seseorang, walaupun terpapar dan menjadi sakit tapi terlindungi dari keparahan.

"Artinya tidak perlu dirawat dan juga tidak menimbulkan kematian," katanya.

Baca juga: 4.200 nakes di Batam telah divaksin booster kedua

Ia menyampaikan, rekomendasi dari 22 ahli dari Asia dan Amerika Latin yang terlibat dalam studi real world terkait vaksinasi booster menyimpulkan bahwa vaksin COVID-19 berplatform viral vector dan messenger RNA (mRNA) untuk booster menghasilkan perlindungan yang cukup tinggi terhadap keparahan penyakit dan kematian terkait Omicron.

"Ada dua jenis platform yang kami review, yakni viral vector yang dikembangkan AstraZenecca dan mRNA dari Moderna dan Pfizer, ternyata kedua jenis platform itu memberikan perlindungan setara. Jadi masyarakat jangan terlalu milih-milih karena hasilnya setara," tuturnya

Ia mengatakan, kedua platform itu memberikan tingkat perlindungan yang tinggi sebagai booster, baik disuntikan sebagai booster homolog atau heterolog dari jenis vaksin yang diterima.

"Efektivitas pada populasi umum sebesar 84,2 persen, untuk kelompok lansia 87,4 persen," paparnya.

Dalam kesempatan itu, Erlina juga mengingatkan bahwa meski angka kasus COVID-19 cenderung terkendali, kondisi pandemi saat ini masih dinamis.

Menurutnya, masih ada kemungkinan muncul varian baru jika cakupan vaksinasi booster rendah dan tidak disiplin protokol kesehatan.

"Kita harus menyadari bahwa COVID-19 ini virus RNA, virus ini lazim bermutasi, jadi kemungkinan terjadi varian baru itu ada, bisa bermacam-macam," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, transmisi penularan virus harus terkendali, bahkan harus diputuskan rantai penularan, dengan begitu maka tidak ada mutasi.
 

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022