Bandung (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ny Endang Sukesi mengatakan, dalam memori Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana Probosutedjo, ternyata bukan bukti baru (novum). "Delapan novum (bukti baru) yang diajukan dalam memori PK yang disampaikan terpidana Probosutedjo kepada majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung, semuanya bukan bukti baru. Jadi yang diajukannya bukanlah bukti baru," kata JPU dalam persidangan Peninjauan Kembali (PK) perkara Probosutedjo di PN Bandung, Selasa. Sidang yang berlangsung lebih dari empat jam sejak pukul 09.00 WIB itu sempat diskor selama satu jam oleh majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Syariduddin SH dan dua hakim anggota masing-masing Nawawi SH serta Artha Therresia SH. Dalam persidangan PK itu, terpidana Probosutejo yang memakai baju safari warna gelap langsung membacakan memori PK selama dua jam lebih. Didampingi lima penasehat hukumnya yakni Purwaning Yanuar SH, Andika Yoedistira SH, Rachmawati SH, L Syariyanti SH dan Ani Andiani SH, Probo membacakan memorI PK secara perlahan tapi pasti. Tampak pula di deretan bangku pengunjung paling depan ruang pengadilan, istri dan sanak saudara Probosutedjo. Persidangan tersebut sempat diskor selama satu jam karena majelis hakim meminta berkas asli bukti baru yang diajukan oleh pemohon PK. Karena tidak juga mendapatkan berkas asli bukti baru, akhirnya penasehat hukum sempat meminta agar diberi waktu untuk menggandakan (mengkopi) berkas asli bukti baru tersebut. Dalam sidang lanjutan yang dimulai pukul 13.30 WIB, majelis hakim langsung menanyakan tanggapan kepada jaksa penuntut umum atas memori PK yang diajukan pemohon PK asli, yakni Probosutedjo. Jaksa penuntut umum Ny Endang Sukesi mengatakan bahwa yang diajukan dalam memori PK yang diterimanya dan yang sempat dibacakan pemohon PK asli itu, bukanlah merupakan bukti baru. "Setelah kami periksa dan teliti, dalam memori PK itu tidak ada bukti baru," katanya. "Hampir semua novum yang diajukan dalam memori PK tersebut semuanya sudah diperiksa dalam persidangan perkara sebelumnya, jadi yang kami periksa barusan bukanlah bukti baru," katanya. Sementara itu majelis hakim Syarifuddin SH mendengar hasil pemeriksaan memori PK yang dinyatakan bukan merupakan bukti baru itu, menyetujui pernyataan jaksa penuntut umum tersebut dan pihaknya akan membuat berita acara atas hasil pemeriksaan JPU tersebut. "Saya akan segera membuat berita acara hasil persidangan ini termasuk hasil pemeriksaan JPU bahwa dalam memori PK yang diajukan Probosutedjo bukan merupakan bukti baru," katanya seraya mengahiri persidangan. Diserahkan Usai persidangan jaksa penuntut umum Ny Endang Sukesi kepada pers mengatakan, hasil pemeriksaan dan penyerahan PK itu akan diserahkan ke PN Jakarta pada Rabu (5/4) dan diharapkan pada Selasa (11/4) pekan depan akan disidangkan di PN Jakarta kemudian putusannya akan diserahkan ke Mahkamah Agung (MA). Jaksa mengatakan, apa yang dilakukan terpidana Probosutedjo itu sudah merupakan tindak pidana korupsi, meski terpidana selalu berdalih sudah memenuhi kewajibannya dan menjadi korban PP No.7 tahun 1990 dan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan. Sebelumnya dilaporkan, terpidana perkara korupsi Dana Reboisasi Hutan Tanaman Industri (HTI), Probosutedjo, mengajukan delapan bukti baru (novum) dalam permohonan Peninjauan Kembali (PK). Pada sidang pertama permohonan PK di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (20/3), Probo yang diwakili kuasa hukumnya, OC Kaligis memohon kepada majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin untuk mengabulkan permohonan PK dan membatalkan putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 28 November 2005 yang menghukum Probo empat tahun penjara dan membayar kerugian negara sebesar Rp100,9 miliar. Bukti baru yang diajukan oleh kuasa hukum Probo diantaranya adalah putusan MA No 181 K/TUN/2004 tertanggal 9 Juni 2005 antara Menteri Kehutanan melawan PT Menara Hutan Buana yang memenangkan PT Menara dan membatalkan SK Menhut yang mencabut ijin pengelolaan hutan kepada PT Menara. Selain itu, kuasa hukum Probo juga mengajukan bukti penyetoran uang pengganti kepada negara sebesar Rp100,9 miliar tertanggal 5 Januari 2006 dan berita acara penyerahan denda dan biaya perkara tertanggal 5 Januari 2006. Kuasa hukum itu menganggap putusan MA adalah kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata karena dalam amar putusan kasasi, Probo dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. "Tetapi dalam amar putusan itu tidak jelas disebutkan bersama-sama siapa dan yang diseret ke pengadilan dan kini mendekam di tahanan hanya Probo saja. Demikian pula dengan uang pengganti yang hanya ditanggung sendiri oleh Probo," kata Kaligis. Kuasa hukum Probo juga menilai pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim kasasi keliru karena kerugian negara sebesar Rp100,9 miliar, menurut Kaligis, timbul akibat adanya perikatan perdata yang tunduk pada hukum perdata antara PT Menara Hutan Buana dan Bank Exim. Kaligis menilai masalah yang timbul akibat sengketa hutang piutang merupakan sengketa perdata yang harus diselesaikan melalui jalur perdata. Majelis hakim kasasi, lanjut dia, telah keliru dalam menyamakan pengertian melawan hukum dalam arti pidana dengan perjanjian kredit yang belum jatuh tempo. "Tidak ada perbuatan melawan hukum yang diajukan pemohon PK dalam kaitannya dengan kerugian keuangan negara," ujarnya. Pada 28 November 2005, majelis hakim kasasi yang diketuai Iskandar Kamil dan beranggotakan hakim agung Harifin A Tumpa, Atja Sondjaya, Rehngena Purba dan Djoko Sarwoko menghukum Probo empat tahun penjara dan membayar uang kerugian negara sebesar Rp100,9 miliar. Probo kemudian dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan kini dipindahkan ke LP Sukamiskin, Bandung. Kasus Probo sempat menarik perhatian ketika ia melaporkan pengacaranya, Harini Wijoso ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan pemerasan. Mantan majelis hakim kasasi yang menangani perkara Probo yang diketuai Bagir Manan dan beranggotakan Parman Soeparman dan Usman Karim tertimpa isu suap dan akhirnya MA mengganti majelis hakim perkara Probo.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006