Labuan Bajo (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatasi persoalan stunting melalui upaya preventif atau pencegahan yang dimulai dari keluarga.

"Ada 603.893 keluarga yang berpotensi hasilkan anak stunting yang harus kita lakukan tindakan pencegahan, dimulai dari keluarga," kata Kepala BKKBN NTT Marianus Mau Kuru dalam kegiatan Road Show Dharma Pertiwi Percepatan Penurunan Stunting di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Kamis.

Dia mengatakan keluarga yang memiliki anak remaja harus melakukan pendampingan lewat pemberian makanan bergizi. Hal itu dibutuhkan karena remaja putri mengeluarkan darah setiap bulan sehingga harus diimbangi dengan asupan makanan bergizi.

Baca juga: Dharma Pertiwi perkuat edukasi penurunan stunting di Labuan Bajo

"Jika remaja putri mengalami kurang darah atau anemia, maka tidak boleh hamil karena berpotensi melahirkan anak stunting," katanya.

Selanjutnya, kata dia, keluarga yang memiliki calon pengantin harus memeriksa betul kesehatan mempelai perempuan agar lingkar lengan dan kadar hemoglobin sesuai standar kesehatan. Jika calon pengantin perempuan mengalami anemia dan menderita kekurangan energi kronis (KEK), maka berpotensi melahirkan anak stunting.

Marianus meminta keluarga yang memiliki ibu hamil untuk melakukan pendampingan pemeriksaan kehamilan minimal delapan kali dan memberikan makanan bergizi serta tablet penambah darah. Selain itu, keluarga dengan ibu pascabersalin harus diberi edukasi untuk ikut program Keluarga Berencana (KB).

"Jaraknya (kehamilan) tiga tahun, supaya ibu bisa memulihkan kesehatan reproduksinya, ibu memiliki waktu cukup untuk memperhatikan tumbuh kembang anak," katanya.

Baca juga: BKKBN: TNI berperan sosialisasikan KIE gizi guna tekan balita kerdil

Kemudian, dia meminta keluarga yang memiliki ibu menyusui untuk wajib memberikan air susu ibu (ASI) kepada anak selama dua tahun, tidak boleh kurang. Selain itu, setiap keluarga harus memiliki 3K yakni kebun sayur, kandang ayam, dan kolam ikan untuk pemenuhan gizi keluarga itu sendiri.

"Kalau terpenuhi, maka tidak ada keluarga dengan stunting atau gizi buruk," kata dia.

Untuk memperkuat upaya preventif dari keluarga, BKKBN mendorong kerja kolaborasi aktif bersama pemerintah daerah dan masyarakat agar penurunan stunting bisa segera terwujud.

Menurut dia, saat ini NTT berada pada angka 22 persen untuk persentase kasus stunting dengan angka absolut sebanyak 91.032 anak mengalami stunting.

Baca juga: BKKBN: Perlu maksimalkan peran PKK guna turunkan kekerdilan di NTT

"Stunting adalah masalah kita bersama. Untuk menyongsong Indonesia Emas, kita harus ciptakan keluarga emas," kata dia menegaskan.

Pewarta: Fransiska Mariana Nuka
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022