“Namun jika kita saling mengenal maka kita akan makin menyadari bahwa kita adalah satu kesatuan,” katanya.

Ankara (ANTARA) - Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mengajak diplomat dari seluruh dunia bersatu membangun perdamaian dunia untuk makmur bersama.

“Dunia ini terlalu sempit untuk kita berperang dan konflik. Kita harus bersatu untuk berbagi, saling menolong, makmur bersama, dan menciptakan lingkungan hidup yang hijau dan segar,” katanya saat ditanya wartawan pada acara Diplomatic Reception dalam rangka peringatan 77 tahun kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan KBRI Turki di Ankara, Rabu malam.

Acara itu dihadiri diplomat dari kedutaan besar dari seluruh dunia yang ada di Ankara. Hadir juga Menteri Perindustrian dan Teknologi Turki Mustafa Varank dan Kepala Industri Pertahanan Turki, Ismail Demir.

Dalam kesempatan itu hadir juga anggota DPR RI dari Komisi IV Muhammad Syafrudin, anggota Komisi III Yakhobus Jacki Uly, dan dua anggota Komisi I Muhammad Farhan dan Nurul Arifin. Para anggota DPR itu hadir atas undangan Duta Besar Indonesia untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal. Hadir pula Konsul Jenderal RI untuk Istanbul, Imam As’ari.

Pada kesempatan itu Gobel diminta memberikan pidato kunci. Dalam pidatonya Gobel mengatakan bahwa Turki dan Indonesia memiliki hubungan yang kuat karena memiliki ikatan sejarah dan emosional yang kuat.

Dalam keterangannya kepada wartawan, Gobel mengatakan, hakikatnya manusia itu satu, yang berbeda hanya warna kulit, bahasa, geografi, dan beragam identitas lainnya.

“Namun jika kita saling mengenal maka kita akan makin menyadari bahwa kita adalah satu kesatuan,” katanya.

Sebagai contoh, katanya, Indonesia adalah negeri dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa, dengan jumlah kelompok etnik lebih dari 300 dan jumlah etnik mencapai 1.340 etnik. Adapun jumlah pulau di Indonesia adalah 16.766. Sedangkan jumlah bahasa daerah mencapai 718 bahasa. Namun Indonesia hanya memiliki satu bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia.

“Kami bersatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia dengan dasar negara Pancasila dan motto Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, walaupun Indonesia mengakui beragam agama, dan mayoritas penduduknya beragama Islam, namun Indonesia bukanlah negara agama. Indonesia adalah negara demokrasi yang inklusif, toleran, dan pluralistik,” katanya.

Sebagai negara yang pernah dijajah selama 350 tahun, kata Gobel, Indonesia sangat merasakan menderitanya berada dalam penjajahan, dominasi, dan hegemoni suatu negara.

Perang Dunia II, katanya, juga membuat penderitaan yang hebat bagi rakyat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, salah satu tujuan dibentuknya negara Indonesia, katanya, adalah untuk menciptakan perdamaian dunia.

“Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas-aktif. Bebas menentukan sikap dan kebijakannya serta aktif memberikan kontribusi dalam percaturan internasonal. Indonesia adalah negeri yang cinta damai dan menolak penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa antarnegara,” katanya.

Gobel menekankan, “Perdamaian dunia adalah suatu keharusan. Perdamaian dunia tak lahir begitu saja. Perdamaian dunia harus diperjuangkan oleh semua pihak. Hanya melalui perdamaian maka kemajuan dan kemakmuran bersama bisa tercapai. Kita menolak hegemoni dan dominasi. Kita menolak kemakmuran dan kemajuan hanya untuk bangsa dan negara tertentu saja. Kita ingin kemajuan dan kemakmuran bersama. Dan itu harus diperjuangkan secara bersama-sama.”

Untuk itu, Gobel mengatakan, “Mari kita membangun mutual trust, mutual respect, dan mutual benefit. Trimutual itu merupakan satu kesatuan. Dimulai dengan rasa saling percaya, lalu terbina rasa saling menghormati, dan akhirnya kita sama-sama mendapat benefit. Rasa percaya itu soal hati, soal keyakinan, bahwa umat manusia hakikatnya berhati baik. Karena itu kita menolak jika manusia menjadi serigala bagi yang lainnya. Kita bukan serigala yang saling memangsa."

"Sudah saatnya kita mengembangkan heart to heart diplomacy, not pocket to pocket diplomacy. Semua itu makin mudah terwujud jika kita mengedepankan people to people relationship, bukan sekadar government to government relationship. Melalui diplomasi budaya dan diplomasi komunitas maka tujuan-tujuan perdamaian lebih mudah terwujud, karena hati kita sudah saling terpaut.” tambahnya.

Gobel mengingatkan, saat ini dunia sedang dihadapkan pada tantangan perubahan iklim. Hal itu, katanya, kemudian mendatangkan bencana banjir, longsor, dan tenggelamnya dataran-dataran rendah, khususnya di wilayah pesisir. Pola tanam dan pertanian, katanya, juga terganggu.

Hal ini berakibat berkurangnya pasokan pangan dan naiknya harga pangan. Padahal jumlah penduduk bumi terus bertambah dan kini berjumlah sekitar 8 miliar jiwa. Pada sisi lain, katanya, dunia juga secara bertubi-tubi dihantam berbagai penyakit akibat mutasi virus dan bakteri. Yang paling dahsyat adalah hantaman dari pandemi COVID-19. Sudah lebih dari dua tahun namun dunia masih belum lepas dari bayang-bayang virus corona ini.

“Semua itu berdampak bagi ketersediaan dan harga pangan. Padahal kemampuan tiap negara tidak sama. Masalah ketersediaan dan harga pangan bisa membuat sejumlah negara akan mengalami kesulitan. Di tengah situasi ini, kita butuh kerja sama, harus saling menolong. Bukan menimbulkan perang dan konflik baru. Perang Rusia-Ukraina telah menambah beban. Rantai pasokan pangan dan energi terganggu. Hal ini berdampak pada ketersediaan dan harga pangan dan energi,” katanya.

Agenda dunia, katanya, justru bagaimana memperbaiki lingkungan hidup yang rusak akibat emisi gas rumah kaca tersebut. “Kita kembali hijaukan planet bumi dengan menanam pohon, menjaga hutan, penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, dan mengurangi penggunaan energi fosil. Kita butuh kerja sama yang erat,” katanya.

“Dalam situasi ini, heart to heart diplomacy dan people to people relationship makin menunjukkan tingkat relevansi-nya yang tinggi. Mari kita saling bergandeng tangan. Manusia hadir di dunia bukan untuk saling menikam tapi untuk saling merangkul. Kita hadir di dunia bukan untuk berbuat kerusakan tapi untuk membangun peradaban dan meninggikan kemanusiaan,” katanya.

Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022