Jakarta (ANTARA News) - Aksi "long march" (berjalan kaki) ribuan buruh mulai dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) menuju Istana Negara Jakarta pada Selasa siang, mengakibatkan arus lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman-Jalan MH Thamrin, yang merupakan jalan protokol ke arah Jakarta Kota, macet. Iring-iringan massa pengunjukrasa yang berjalan kaki masuk di jalur cepat praktis membuat arus lalu lintas kendaraan dari Bundaran HI menuju Jakarta Kota hanya menggunakan jalur lambat, menyebabkan antrean kendaraan cukup panjang. Sejumlah kendaraan busway juga nampak antre merayap di jalur khususnya, karena jalur tersebut juga dipakai para pengunjukrasa yang berjalan kaki. Aparat kepolisian nampak berusaha keras untuk mengalihkan arus kendaraan dari Bundaran HI yang ingin menuju Harmoni/Kota dengan mengimbau pengemudi untuk mencari alternatif lain. Meski demikian, para pengemudi nampak lebih memilih untuk mengantre di belakang para pengunjukrasa yang berjalan kaki. Ratusan aparat kepolisian nampak berjaga-jaga mengawal jalannya aksi unjukrasa ribuan buruh yang menolak revisi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa saat sebelumnya, sekitar pukul 10.00 WIB, ribuan buruh berkumpul melakukan aksi unjukrasa di sekitar Bundaran HI. Para pengunjukrasa tiba di lokasi dengan menumpang sedikitnya 20 bus. Para buruh yang melakukan aksi unjukrasa mengatasnamakan "Aliansi Buruh Menggugat". Sebagaimana aksi-aksi sebelumnya, mereka menyatakan menolak revisi UU Ketenagakerjaan. Sejumlah pengunjukrasa nampak mengenakan ikat kepala bertuliskan "Tolak Revisi UU Ketenagakerjaan". Sejumlah spanduk dan poster yang dibentangkan oleh pengunjukrasa antara lain bertuliskan "Aliansi Buruh Menolak Revisi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan", "Tolak Kapitalisme", dan "Kami Aset Bangsa dan Negara, Bukan Budakmu". Sebelumnya, pada Rabu (29/3), sekitar 5.000 pekerja atau buruh yang tergabung dalam konfederasi Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga melakukan aksi serupa, menolak rencana pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan yang dinilai merugikan kepentingan buruh. (*)
Copyright © ANTARA 2006