Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menolak tegas adanya upaya-upaya pembubaran Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor karena peristiwa kekerasan yang mengakibatkan tewasnya salah seorang santri beberapa waktu lalu.

"Kekerasan pada santri yang berujung pada kematian tentu sangat disayangkan; tapi mengusulkan Gontor sebagai institusi pendidikan Islam berbasis asrama dibubarkan atau izin operasionalnya dicabut, hemat saya itu pikiran terburu-buru," kata Ahmad Basarah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dia menganalogikan apabila kekerasan juga terjadi di Akademi Kepolisian, Akademi Militer, atau lembaga pendidikan berbasis asrama lainnya; maka izin operasional institusi pendidikan tersebut tidak lantas dicabut.

Seperti diberitakan, tindak kekerasan antarsantri terjadi di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Peristiwa itu menyebabkan seorang santri asal Palembang, Sumatera Selatan, AM (17) meninggal dunia karena dianiaya oleh dua seniornya.

AM dan dua rekannya mendapat hukuman dari seniornya karena tidak bisa mengembalikan peralatan perkemahan.

Baca juga: Aparat Kemenag telusuri potensi perundungan sistematis di Gontor

Terhadap kejadian itu, Ahmad Basarah yang juga Anggota Komisi X DPR RI membidangi pendidikan mengajak semua pihak untuk tenang atau cooling down dan bersikap proporsional dalam menilai peristiwa tersebut.

Kematian santri itu diyakini terjadi karena emosi santri-santri berdarah muda, bukan atas instruksi para guru dan pimpinan Gontor.

Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang itu juga menyebutkan tiga alasan mengapa Pemerintah dan masyarakat sebaiknya berpikir positif dan terus menjaga keberadaan Ponpes Gontor.

Pertama, menurutnya, Gontor adalah pesantren modern yang mendidik dan mengajarkan pola pikir terbuka kepada para santri lewat materi ajar yang ada, misalnya kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd dan kitab Al-Adyan.

Kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd itu tidak hanya mengajarkan satu mazhab, tapi semua mazhab, katanya. Sehingga, sejak remaja calon alumni Ponpes Gontor dibiasakan dengan perbedaan pendapat, keterbukaan pikiran, tidak fanatik pada satu mazhab, dan bersikap toleransi.

Dengan Kitab Al-Adyan, Ponpes Gontor mengajarkan agama-agama yang ada di Tanah Air kepada para santrinya. Hal tersebut cocok dengan falsafah Pancasila dan kondisi kebangsaan yang Bhinneka Tunggal Ika.

Baca juga: KPPPA kawal kasus penganiayaan santri di Ponpes Gontor

Kedua, lanjutnya, Ponpes Gontor telah melahirkan banyak tokoh moderat yang pro-politik kebangsaan, seperti K.H. Hasyim Muzadi, Nurcholish Madjid, dan sebagainya.

"Saya tidak yakin jika budaya kekerasan dilakukan sistematis oleh pimpinan Gontor akan lahir tokoh-tokoh besar dan moderat seperti mereka," katanya.

Ketiga, Sekretaris Dewan Penasehat PP Baitul Muslimin Indonesia itu mengapresiasi empat motto Ponpes Gontor, yakni berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Motto tersebut banyak diulas dalam karya akademis mulai dari skripsi sampai disertasi.

Dengan motto itu, menurutnya, Ponpes Gontor mengarahkan para santri untuk bersikap rasional tapi berakhlak mulia. Hal itu dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika masyarakat hanya berpikiran bebas saja tapi tidak berpengetahuan luas apalagi tidak berbudi tinggi, maka mereka tidak mudah diajak berbangsa dan bernegara secara sehat dan rasional.

Oleh karena itu, dia mendorong kasus kematian santri dibawa ke meja pengadilan agar semua bukti dan dugaan bisa diperdebatkan secara rasional.

Baca juga: Polisi tetapkan dua tersangka penganiayaan santri Gontor
Baca juga: Wapres minta kekerasan dalam dunia pendidikan dihentikan

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022