Kupang (ANTARA News) - Pengamat Pertanian Agribisnis Universitas Nusa Cendana Kupang Ir Leta Rafael Levis mengapresiasi Kementerian Perdagangan yang menetapkan Hari Kebangkitan Produk Nasional pada 20 Mei, bersamaan berlangsungnya Pameran Produk Dalam Negeri Regional dan Pameran Pangan Nusa.
Pameran Produk Dalam Negeri Regional bertema "Peningkatan Transaksi Domestik Melalui Misi Dagang Lokal" dan Pameran Produk Pangan Nusa yang temanya "Diversifikasi Pangan Nasional" yang berlansung 20-23 Mei 2012 itu, perlu mendapatkan dukungan semua pihak, katanya di Kupang, Senin.
Pameran Produk Dalam Negeri Regional dan Pameran Produk Pangan Nusa bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional ke-104 digelar di Semarang, Jawa Tengah.
Kementerian Perdagangan menampilkan berbagai produk Indonesia yang berkualitas sekaligus menjadi sarana untuk memperluas akses pasar melalui misi dagang lokal, kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnasmurthi saat membuka dua pameran tersebut di Semarang, Minggu (20/5).
Selain diselenggarakan di Semarang, Pameran Pangan Nusa dan Pameran Produk Dalam Negeri Regional juga akan di laksanakan secara berkelanjutan di tiga daerah yaitu Makassar (6-9 Juni), Medan (28 Juni-1 Juli) dan Balikpapan (27-30 September).
Menurut Rafael, pertambahan populasi manusia, justru tidak dibarengi dengan penambahan luas lahan pertanian untuk mensuplai kebutuhan pangan.
"Ini merupakan gambaran yang tidak menyenangkan, mengingat fenomena ini lebih banyak terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Di mana ada kecenderungan produksi pangan menurun di tengah populasi dunia yang makin bertambah dengan persaingan pasar yang ketat.
Akibatnya, kata dia, ancaman rawan pangan, sering menjadi momok yang menakutkan bagi kebanyakan orang di negara-negara berkembang tadi.
Padahal katanya terdapat tiga besar tanaman pangan di dunia yaitu gandum, jagung, dan padi memberikan kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dunia.
Menurut dosen pada Fakultas Pertanian Undana Kupang itu, khusus padi, budidaya terbesar berada di kawasan Asia Selatan dan Tenggara.
Ia menyebut data Bank Dunia 2009, dari jumlah penduduk dunia sebanyak 6,775 miliar jiwa, sekitar 50 persen mengonsumsi beras sebagai makanan pokok.
Dan pada 2010, produksi beras dunia sekitar 466 juta ton dengan tingkat konsumsi sekitar 459,5 juta ton. "Ini berarti ada surplus 6,5 juta ton, meski belum berada pada kisaran aman," katanya.
Ketua Penyuluh Pertanian NTT itu menyebut Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun.
Tingkat konsumsi ini katanya tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia 80 kg/kapita/tahun, Thailand 60 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, dan Korea 40 kg/kapita/tahun.
Dengan tingkat konsumsi sebesar itu, kini Indonesia dimasukkan oleh FAO sebagai salah satu kandidat negara rawan terancam krisis pangan. Pertambahan penduduk yang telah melebihi pertumbuhan suplai bahan pangan, diduga menjadi penyebab krisis rawan pangan.
Ketimpangan ini disebabkan karena telah terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, pabrik, industri, jalan.
Sehingga dengan jumlah penduduk mencapai 237,6 juta jiwa, konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 33,1 juta ton pada tahun 2010 dengan jumlah ketersediaan sebesar 37,47 juta ton.
"Meski ada surplus sebesar 4,37 juta ton, dirasa belum aman untuk menjamin ketersediaan beras. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor beras. Upaya ini sebenarnya bukan merupakan solusi yang tepat," katanya.
Karena akan membuat Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan dalam negeri, karena sifatnya hanya sementara untuk menjaga ketersediaan pangan dalam negeri.
(ANT-084/S004)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012