Jakarta (ANTARA) - Oma Memie Kaurong (72) mendatangi Propam Polri untuk menindaklanjuti laporan dugaan menghalangi keadilan (obstruction of justice) untuk putranya yang melibatkan sejumlah polisi di Sulawesi Utara.
Ditemui di SPKT Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Senin, Mamie didampingi putrinya, Ceilia Audrey Irawan, mengaku sudah 2,5 tahun dirinya mencari keadilan untuk putranya ditersangkakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sedikitnya ada 16 anggota Polri yang dilaporkan terlibat. Mereka berasal dari satuan Polsek Maesa, Polres Bitung, dan Polda Sulawesi Utara. Adapun tindakan yang dilaporkan terkait dengan penahanan berdasar, laporan polisi nonprosedural terkait dengan KDRT, penangkapan nonprosedural, penetapan DPO, serta terlibat dalam penanganan visum yang diduga janggal.
"Kasusnya (KDRT) terjadi di Sulawesi Utara, kami hanya mencari keadilan, seperti Ibunya Brigadir Josua, saya merasakan apa yang dirasakan tidak adil terhadap anak saya, dijadikan tersangka, dijadikan DPO, ditahan, dan dicari,” kata Memie.
Lebih lanjut Ceicilia Audrey Irawan menjelaskan bahwa kasus yang menimpa keluarganya berawal dari laporan KDRT yang dilayangkan oleh Landy Irene Rares, mantan istri adiknya, Andre Irawan.
Menurut dia, proses hukum yang dialami adiknya sebagai upaya menghalangi keadilan, mulai dari penetapan tersangka, pemanggilan, hingga penangkapan dan penahanan.
"Adik saya sudah ditersangkakan tanpa gelar perkara, pengambilan keterangan secara aneh," ujar Ceicilia.
Hal yang memberatkan lagi, kata dia, ada kejaganggalan pada surat hasil visum yang dilayangkan oleh Landy Irene Rares, yang berbeda nama dan usia. Tertulis dalam surat visum et repertum yang dikeluarkan oleh salah satu rumah sakit umum di Sulawesi Utara tertulis nama penderita Lendi Rares usia 44 tahun, padahal saat visum itu dibuat pada tanggal 20 Februari 2020, pelapor berusia 46 tahun.
Baca juga: Polri ungkap peran enam perwira menghalangi penyidikan Duren Tiga
Baca juga: Tersangka yang menghalangi perkara korupsi LPEI segera disidangkan
Kejanggalan lainnya adalah tulisan di dalam dokumen visum tersebut ditulis menggunakan mesin ketik. Hasil visum yang ditandatangani oleh dr. Tassya F. Poputra menyebutkan penderita mengalami luka gores bagian dada atas dekat leher ukuran 3 cm x 0,1 cm, pelipis kanan luka gores ukuran 0,9 cm x 1 cm, dan lengan bawah kanan luka gores ukuran 1,5 cm x 0,1 cm.
Selain itu, dahi memar dan bengkak ukuran 4 cm x 4,5 cm, diagnosis luka gores, memar, dan bengkak. Pada kesimpulan dituliskan bahwa keadaan tersebut dapat disebabkan oleh benda tajam.
"Hasil visum ini yang memberatkan hingga adik saya divonis 1 tahun di Pengadilan Negeri Madano, dan saat ini dalam proses kasasi," katanya.
Memie dan putrinya telah menempuh berbagai upaya untuk mendapatkan keadilan bagi putranya, bahkan hingga upaya praperadilan sulit mereka lakukan karena menduga pelapor merupakan PNS yang memiliki pengaruh di kota tersebut.
Memie juga melayangkan surat terbuka kepada Kapolri untuk memproses dugaan obstruction of justice yang dialami oleh putranya.
Ia juga menyesali tidak berbicara diawal kepada media agar kasusnya menjadi atensi kepolisian karena kasus tersebut merupakan aib keluarga.
Laporan Memie telah mendapat respons dari Bareskrim Polri yang menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan penanganan dumas (SP3D), termasuk juga surat terbuka kepada Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022