Jakarta (ANTARA) - Dari berabad lalu sudah banyak orang harus mati, karena meyakini nalarnya, meyakini jalan kebenarannya dan meyakini ilmu pengetahuannya. Di antara mereka ada Marcus Tulius Cicero, Hallaj al-Asrar, Galileo Galilei, Antoine Lavoisier, Giordano Bruno dan masih banyak lagi yang bernasib serupa.
Sebuah versi ilmiah yang “kebenarannya” ditengarai menyimpang dari doktrin resmi agama dan kekuasaan. Sapere aude, semboyan zaman yang terlambat datang itu, sepertinya mampu memotret benak mereka. Secara cepat, sepenggal motto aufklarung ini, memiliki daya hentak yang amplitudonya masih terasa hingga hari ini.
Inilah yang kemudian dalam sejarah filsafat (Barat) ada sepenggal era di mana nalar manusia diberi porsi yang sama, atau bahkan lebih banyak dari iman. “Cogito ergo sum (I think therefore I am),” begitulah simpul Rene Descartes, Bapak modernisme.
Di era ini, iman tak semata persoalan keyakinan yang mesti dipegang secara buta. Tapi juga ada olah nalar di situ. Maka, tumbuhlah berbagai gerakan intelektual dan kultural yang tersatukan dalam satu istilah; humanisme.
Humanisme lahir. Kemandirian—lepas dari dominasi apapun, termasuk teks-teks suci yang sudah dibakukan oleh kekuasaan—dalam pencarian “kebenaran” terus mengemuka.
Orientasi intelektual dan kultural yang sebelumnya diarahkan ke Tuhan (teosentrisme), bergeser ke arah manusia (antroposentrisme). Ternyata, hidup yang makin kompleks, tak selamanya membutuhkan iman sebagai suluh perjalanan, tapi juga nalar—ilmu pengetahuan.
Istilah Sapere aude berasal dari bahasa Latin. Sapere artinya berpikir atau mengerti dan Aude artinya berani. Sehingga kata Sapere aude diartikan sebagai berani berpikir. Secara luas Sapere aude berarti beranilah untuk mengetahui atau menjadi pandai.
Sapere aude pertama kali termaktub dalam karya Horatius, dalam kredo beranilah menjadi bijak! Kemudian dipungut oleh Immanuel Kant dengan mengatakan bahwa pencerahan adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri.
Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk mempergunakan pengertian sendiri tanpa bimbingan orang lain. Ketidakdewasaan itu dibuat sendiri, bukan orang lain.
Penyebabnya bukan pada kurangnya pikiran, melainkan kurangnya ketegasan dan keberanian untuk mempergunakan pikirannya sendiri tanpa bimbingan orang lain. Sapere Aude! Beranilah mempergunakan pikiranmu sendiri! Beranilah mengetahui!
Ungkapan Kant ini merangkum keyakinan dan ambisi kalangan terpelajar dan kaum intelektual radikal abad ke-18. Sapere aude adalah ungkapan Zaman Pencerahan dalam sejarah peradaban manusia.
Pencerahan yang melanda hampir seluruh Eropa, Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia. Periode yang sekaligus menjadi peletak dasar peradaban yang mengubah tata sosio-politik dunia hingga kini.
Sapere aude menjadi menjadi nyala nyali untuk bereksplorasi dalam meraih “kebenaran.” Sekolah, akademi, universitas, lembaga riset, pun makin mendapatkan kemandiriannya. Ilmu pengetahuan menjadi lebih terperinci, terspesifikasi, lepas dari dominasi dan otoritas lembaga agama dan kekuasaan.
Sapere Aude menuntut prasyarat literasi informasi. ialah keterbukaan terhadap informasi dan pengetahuan. Tanpa itu semua, tidak ada narasi yang layak untuk dipelajari dan diperdebatkan.
Literasi informasi memampukan individu secara otonom berfikir dan bertindak, karena memahami. Dengan literasi informasi mereka mengetahui bagaimana harus belajar. Mereka mengetahui bagaimana mengorganisasikan pengetahuan. Mereka memahami cara menemukan informasi lalu menggunakannya sedemikan rupa untuk kepentingannya.
Dengan demikian, tepat kiranya UNESCO mengatakan bahwa literasi informasi itu berhubungan dengan tujuan-tujuan kehidupan pribadi, sosial, pekerjaan dan pendidikan orang per orang.
Sapere aude adalah ketika jaman gandrung dengan buku-buku. Ketika perpustakaan menjadi lambang kecerdasan dan peradaban sebuah bangsa.
Jika terminologi Sapere aude menurut Immanuel Kant merujuk pada tindakan (gerakan) yang berani untuk berpikir sendiri. Berani keluar dari inferioritas, ketidakdewasaan, dan kepicikan.
Maka Sapere Aude menurut Steve Jobs adalah “Don’t be trapped by dogma; which is living with the results of other people’s thinking. Orang dapat dikatakan hidup kalau memiliki kemandirian untuk berfikir dan bertindak, sehingga ada dinamika, terus bergerak, tidak stagnan dalam kubangan-kubangan permasalahan dan kenyamanan yang sama dari waktu ke waktu.
Lalu masih yakinkah kita bahwa perpustakaan menjadi ekosistem bagi konsep Sapere aude? Konsep Library 3.0 memaknai perpustakaan bukan persoalan gedung belaka.
Library 3.0 adalah sebuah konsep perpustakaan sebagai ruang publik yang memungkinkan individu-individu untuk berinteraksi, berinovasi dan mendapatkan inspiransi.
Dengan demikian, pendekatan perpustakaan akibat pengaruh teknologi informasi dan komunikasi ini memiliki karakteristik kepentingan yang berfokus pada individu, menekankan semangat sosial untuk berbagi sumber daya keilmuan dan akses terhadapnya, dan sebuah ruang yang mengundang partisipasi lebih banyak orang-orang untuk memperkaya isi dan layanan perpustakaan secara bersama.
Dalam organisasi informasi perpustakaan misalnya, penggunaan Web Semantic dapat memberikan kita pilihan untuk berbagi, bekerjasama, menyajikan dan mengatur informasi berbasis web dengan cara yang mudah.
Virtual Reference Service dapat menjadi cara untuk menjangkau pengguna yang jauh dari perpustakaan. GeoTagging bisa membantu pengguna untuk menemukan informasi spesifik yang terletak di lokasi tertentu.
Ontologies dimungkinkan sebagai teknik untuk memberikan hubungan semantik antara satu istilah dengan pemetaan pengetahuan. Ubiquitous contents sebagai konsep yang mengarah pada berbagi aneka informasi yang dapat diakses di mana saja tanpa batas waktu, dengan mengggunakan perangkat apa saja (gadget).
Dengan demikian, library 3.0 dibangun untuk menciptakan hubungan semantik antara semua isi repositori perpustakaan dengan pengetahuan lembaga, dan memastikannya agar terus dapat diakses secara terbuka, untuk dimanfaatkan secara luas bagi pembelajaran dan meningkatkan literasi informasi setiap individu dalam masyarakat.
Tetap penting kiranya, kita menghubungkan kredo ini di era disrupsi saat ini, karena filosofi Kant berangkat dari Idealisme, yang beranggapan bahwa mental dan ideasional sebagai kunci untuk mencapai kebenaran realitas. Di situlah kiranya soal kepentingan literasi informasi dan peranan perpustakaan itu harus diletakkan.
Karena untuk mencapai kecerdasan seseorang membutuhkan absorbsi, persepsi dan analisis yang mantap dari bacaan-bacaannya. Dan tidak ada satu institusipun di dunia ini yang penuh loyalitas dan dedikasi sosial dalam menyiapkan bacaan bagi setiap orang yang berbeda-beda, kecuali perpustakaan.
Maka kredo Sapere Aude nampaknya tidak pernah berlalu dan usang. Ia dapat mewakili semangat mereka yang mencintai buku dan ilmu pengetahuan, semangat mereka yang mempercayai perpustakaan sebagai institusi intelektual. Juga semangat yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan, untuk melayankan informasi yang tepat, kepada pengguna yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat. Tetap semangat, merdeka…!
*) Joko Santoso adalah Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Perpustakaan Nasional
Copyright © ANTARA 2022