Jakarta (ANTARA) - Pernyataan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo pada Selasa, 9 Agustus 2022 telah menghentikan spekulasi awam dan ahli mengenai akhir dari perkara pembunuhan “polisi oleh polisi” yang meramaikan dinamika sosial di seantero Tanah Air.
Ketidakpastian hukum mengenai perkara tersebut berakhir setelah Kapolri menyatakan bahwa Ferdy Sambo memerintahkan Brigadir E untuk membunuh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau populer dengan sebutan Brigadir J sehingga kronologi kasus ini menjadi lebih terang benderang dan sekaligus membantah dan menolak berita awal yang tersebar luas ke masyarakat .
Sedangkan masalah pelecehan yang diduga dilakukan oleh Almarhum Brigadir Yosua Hutabarat terhenti dengan sendirinya karena ketentuan Pasal 77 KUHP memastikan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia, sehingga tidak ada kepentingan hukum lain bagi peradilan terhadap Ferdy Sambo dan kawan-kawan sekadar hanya menemukan motif dari pembunuhan semata demi kepentingan terdakwa.
Masalah lain yang juga penting dari peristiwa ini adalah mengenai ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP yang merupakan ancaman pidana maksimal bagi Ferdy Sambo. Apakah sepatutnya Ferdy Sambo dipidana mati hanya karena motivasi pelecehan terhadap istrinya, PC? Penilaian mengenai standar kepatutan dari aspek kemanusiaan yang adil dan beradab dewasa ini telah mengalami perubahan signifikan sehubungan dengan pertanyaan tersebut, bahkan menjadi polemik yang berlarut-larut di dalam pergaulan masyarakat internasional.
Perubahan pertama diawali dengan konvensi internasional PBB mengenai hukuman mati (death penalty). Perubahan terkini mengenai hukuman mati menunjukkan bahwa sikap negara-negara di dunia terhadap penghapusan hukuman mati terbagi menjadi dua kelompok, yaitu negara abolisionis dan negara retensionis. Negara abolisionis merupakan negara yang mendukung atau telah menerapkan penghapusan hukuman mati, sedangkan negara retensionis merupakan negara-negara yang menolak penghapusan hukuman mati atau masih menerapkan hukuman mati.
Sampai saat ini Indonesia termasuk negara retensionis terhadap hukuman mati, dan hal ini tampak dari sikap Mahkamah Konstitusi dalam perkara Uji Materiel UU Narkotika atas nama pemohon, Rani, yang menyatakan sebagai berikut: "Dalam hubungannya dengan permohonan a quo, jika menurut Indonesia sebagai negara peserta konvensi langkah-langkah yang lebih keras, dalam hal ini ancaman pidana mati, dipandang diperlukan untuk mencegah dan memberantas kejahatan-kejahatan tadi, maka langkah-langkah demikian bukan hanya tidak bertentangan, tetapi justru dibenarkan dan diakui konvensi internasional.
Konvensi dimaksud adalah, ICCPR yang menyatakan antara lain, Article
1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty berdasarkan Resolusi Sidang Majelis Umum PBB No. 44/128 of 15 Desember 1989. Resolusi PBB tersebut mengharapkan/mengimbau negara anggota PBB untuk secara evolusioner menghapuskan pidana mati.
Pengaturan tentang pidana yang lebih maju telah dilakukan pemerintah dan DPR RI dalam pembahasan RUU KUHP 2019/2020 di mana pidana mati telah diatur sebagai pidana alternatif, bukan lagi menjadi pidana pokok, dalam arti hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika: a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b. peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting; atau c. ada alasan yang meringankan.
Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. (5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Ketentuan pidana mati di dalam RUU KUHP telah memadai dari aspek kemanusiaan dan hukum pidana dibandingkan dengan KUHP(1946) yang kini berlaku. Berdasarkan uraian perkembangan pengaturan tentang pidana mati di atas tampak jelas asas kepatutan dan alasan kemanusiaan telah berkembang sedemikian rupa sekalipun sikap pemerintah RI masih tetap retensionis bersyarat.
Penerapan pidana mati dalam hal tindak pidana khusus dan bersifat serius dan merupakan ancaman serta bahaya yang bersifat massal menghancurkan kehidupan bangsa dan negara dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan bersifat transnasional merupakan standar kepatutan dan perikemanusiaan yang layak dipertahankannya pidana mati.
*) Prof Romli Astasasmita adalah Pendiri KPK, mantan pejabat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, guru besar Ilmu Hukum Unpad
Copyright © ANTARA 2022