Kepentingan politik dengan narasi agama bisa menghipnotis orang agar terpecah belah dan memusuhi satu sama lain.

Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia Islah Bahrawi mengatakan konflik horizontal, seperti perang saudara, sejatinya lebih berpotensi menjadi pemicu kepada kelompok radikal guna melahirkan aksi teror di wilayah atau negaranya.

"Seperti yang terjadi di Suriah dan Libya. Ini adalah contoh bagaimana konflik horizontal melahirkan berbagi aksi radikal teror," ujar Islah Bahrawi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Islah melanjutkan gerakan radikal dan teror di seluruh dunia sarat akan muatan dan cita-cita politik, bahkan narasi ambisi politik dituangkan dalam penunggangan agama melalui dalil-dalil.

"Persoalan agama yang kemudian memasuki wilayah kepentingan politik. Inilah yang menjadi konflik di banyak negara. Kepentingan politik dengan narasi agama bisa menghipnotis orang agar terpecah belah dan memusuhi satu sama lain," jelasnya.

Untuk itu, dia mewanti-wanti agar pada tahun politik 2024 tidak lagi terulang sejarah hitam demokrasi pada tahun 2014 dan 2019 yang kental akan politik identitas hingga menimbulkan konflik SARA. Di sisi lain, Islah telah mendeteksi adanya gejala politisasi agama menjelang tahun politik mendatang.

"Kalau kita berbicara dari perspektif politisasi agama, pada tahun 2024 merupakan satu abad keruntuhan khilafah terakhir tahun 1924. Artinya tahun 2024 akan menjadi titik krusial, politik identitas dan politisasi agama itu akan menjadi suatu pertaruhan luar biasa. Ini yang betul-betul harus diantisipasi," ucap Cak Islah.

Baca juga: BNPT: Terorisme ancaman laten yang harus dihadapi dengan kewaspadaan
Baca juga: BNPT harap nilai adat budaya bisa persempit ideologi terorisme

Ia mengungkapkan kelompok radikal saat ini mulai menggelorakan terkait dengan kemunculan mujadid atau pembaharu dalam Islam bersama dengan peringatan 100 tahun keruntuhan khilafah dengan dilabelkan kepada salah satu calon kandidat presiden. Hal ini diperkuat dengan keyakinan kelompok tersebut melalui hadis yang mengatakan bahwa tiap 100 tahun akan dilahirkan seorang mujadid.

"Nah, ini sebenarnya gejala politisasi agama. Maka, pada tahun 2024 politisasi agama akan datang berlipat ganda terlebih munculnya partai baru yang mengatasnamakan agama. Bila itu terjadi, akan terjadi perang elektoral yang akan lebih detail dengan narasi agama," ujarnya.

Ia memandang perlu kesadaran dan partisipasi dari seluruh pihak guna mewaspadai dan menjaga stabilitas, toleransi, dan harmoni dalam lingkungan berbangsa bernegara. Caranya dengan kembali ke dasar ajaran Islam wasathiyah dan menggelorakan konsep moderasi beragama.

"Ini adalah konsep dasar Islam yang berbasis middle path, garis tengah, tidak kanan maupun kiri. Akan tetapi, kita betul-betul dalam asas kebangsaan yang berkonsep al-ashabiyah atau kesepakatan," ucap Cak Islah.

Kedua, dia menyebut moderasi beragama sebagai upaya mereposisi fungsi agama sebagai pengemban asas kemanusiaan dan sebagai bejana untuk menciptakan kedamaian. Dari itulah, moderasi beragama menjadi sangat perlu untuk dibumikan agar tidak lagi ada penghianatan terhadap konsep kesepakatan bersama pada suatu bangsa.

"Konsep moderasi beragama secara definitif, harus kita gelorakan kepada masyaraka. Bahwa dengan beragama seharusnya kita menjauh dari kebencian, caci maki, dan perpecahan. Secara utuh diperlukan satu sikap resitensi dan ketegasan dari masyarakat secara bersama menolak ajaran dan kehadiran kelompok radikal tersebut," tuturnya.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022