Jakarta (ANTARA) - Suatu masa pada tahun 2018, Westiani Agustin mendapat telepon dari perwakilan kelompok ibu-ibu di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mereka tahu bahwa perempuan berusia 45 tahun yang biasa disapa Ani itu baru saja "melahirkan" Biyung Indonesia sebagai wadah social enterprise dengan produk utamanya pembalut kain.
Namun ketika kelompok tersebut tahu bahwa satu set pembalut kain yang terdiri atas empat pembalut harganya Rp100 ribu, mereka menilainya terlampau mahal, apalagi masih ditambah ongkos kirim ke Gunung Kidul.
Ani pun terperanjat. Awalnya ia mendirikan usaha sosial tersebut sebagai alternatif pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, tapi ternyata produknya malah sulit diakses oleh perempuan.
"Seharusnya kami bikin sesuatu yang mudah diakses perempuan tapi kok mereka malah susah dapatnya?" cerita Ani ketika ditemui pada akhir Agustus 2022 di kantornya, Kabupaten Sleman, D.I.Y.
Sarjana Ilmu Komunikasi Undip itu memang sudah memakai pembalut kain pada 2011. Namun baru pada 2016, saat ada proyek home schooling dengan kedua anaknya Ken (saat ini 17 tahun) dan Sang (20 tahun), ketiganya mengembangkan produk pembalut kain sebagai salah satu pemasukan bagi keluarga tapi juga memberikan dampak kepada orang lain.
Mengetahui ada perempuan-perempuan lain yang membutuhkan pembalut kain namun sulit mendapatkan akses, ia pun bertekad untuk mengajarkan para ibu untuk menjahit sendiri pembalut kain mereka. Kemudian ia melakukan penggalangan dana (fund raising) selama 3 bulan agar dapat berangkat ke Gunung Kidul sekaligus membelikan bahan bagi para ibu.
Akhirnya lokakarya pertama komunitas sosial tersebut bisa terlaksana pada 2019.
Dalam workshop tersebut, awalnya ia perbincangkan kesehatan reproduksi (kespro). Responsnya mengagetkan karena mereka awalnya malu-malu menyebut menstruasi. Mereka menyebut istilah itu dengan kata "dapet". Dari sini disadari bahwa hal ini ternyata persoalan baru. Semula ia datang ke sana mau bicara soal sampah, tapi kemudian merembet bicara soal kespro sehingga ia perlu berbicara masalah tersebut.
Para peserta pelatihan yang awalnya tidak berani bicara soal menstruasi kemudian punya keberanian untuk bercerita tentang iritasi saat menggunakan pembalut sekali pakai yang terbuat dari plastik hingga mengungkapkan nenek dan ibu mereka pun menggunakan pembalut kain.
Dari beberapa kali menggelar workshop di komunitas, mereka terlihat membutuhkan ruang santai di luar pekerjaan di rumah. Karena pengalaman mereka sebagai anak, remaja, dan ibu, ternyata tidak punya waktu bicara mengenai tubuhnya secara nyaman. Akhirnya diskusi mengenai kespro berlangsung lebih lama dibanding pelatihan menjahit.
"Setelah itu baru kami membuat satu program Perempuan Bantu Perempuan," ungkap Ani.
Usaha sosial tersebut kemudian menyusun dua aktivitas, pertama unit usaha yang menjual pembalut kain dan kedua adalah bagian program.
Aktivitas pertama menyasar 20 persen pangsa pasar yaitu perempuan yang punya akses ke internet dan media sosial sehingga memiliki akses informasi, punya kesadaran terhadap lingkungan, maupun rasa kritis terhadap penggunaan pembalut kain. Sisanya yang 80 persen menyasar perempuan yang kurang akses terhadap informasi namun punya memori mengenai penggunaan pembalut kain oleh ibu atau nenek mereka.
Dalam perjalanannya, komunitas ini menggarap dua pasar ini, karena kelompok 20 persen target konsumen diusahakan bisa melakukan program sosial ke yang 80 persen. Komunitas ini juga harus menggarap 80 persen karena misi awalnya adalah mengurangi sampah sehingga kalau hanya fokus ke 20 persen maka pengurangan sampahnya tidak berarti (signifikan).
Pendanaan komunitas tersebut bersumber dari dua hal yaitu penjualan pembalut kain maupun pemberian pelatihan ke berbagai komunitas yang dibiayai pasar 20 persen.
Ia pernah dihubungi perusahaan rintisan televisi yang ingin membeli pembalut kain produksinya untuk perempuan di Desa Raman, Jambi. Akan tetapi ia menawarkan paket lain, yaitu agar perusahaan startup itu membiayai pelatihan sekaligus produksi pembalut kain oleh komunitas di Desa Raman. Lalu usaha sosial tersebut bekerja sama dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) di Jambi untuk bersama-sama memproduksi pembalut kain yang selanjutnya disalurkan ke perempuan disabilitas di berbagai panti.
Target usaha sosial itu adalah bertemu dengan komunitas yang tidak bisa mengakses pembalut untuk kemudian dilatih, sehingga mereka bisa memproduksi pembalut kain sendiri sekaligus bisa memberikannya ke komunitas perempuan lain. Dengan aktivitas tersebut maka pengurangan sampah dilakukan, edukasi kespro dikerjakan, sekaligus pemberdayaan perempuan karena mereka mendapatkan sumber penghasilan baru.
Mimpi jangka panjang Ani adalah mendorong pemerintah menerbitkan kebijakan untuk menggratiskan pembalut kain di puskesmas.
Alasannya, karena mengalami menstruasi yang sehat adalah hak asasi perempuan sehingga pembalut sebagai sistem pendukung (support system) menstruasi seharusnya diberikan gratis dengan alat untuk menjangkau perempuan hingga ke setiap kecamatan adalah puskesmas.
Lantas dari mana pemerintah mendapatkan pembalut kain? Di situlah letak kerja komunitas tersebut untuk melatih berbagai komunitas perempuan di berbagai kecamatan untuk menjahit pembalut kain sendiri sehingga bila pemerintah membuat kebijakan penyediaan pembalut kain di setiap puskesmas, maka pemerintah dapat membeli pembalut tersebut ke komunitas-komunitas, bukan membeli dari industri besar.
Biyung Indonesia kini sudah berjejaring dengan berbagai komunitas perempuan di Jakarta, Jambi, Yogyakarta, hingga Papua. Ani sendiri lahir dan besar di Papua, sehingga memiliki cukup banyak teman di Papua.
Sebagai seorang sociopreneur perempuan, Ani lantas terpilih menjadi salah seorang dari sembilan perempuan Indonesia penerima pelatihan dalam program "Deepening Impact of Women Activators" (DIWA) untuk Women Social Entrepreneurs (WSEs) dari organisasi Ashoka Indonesia tahun 2022.
Ashoka memberi pelatihan untuk membedakan mana yang bisa jadi supporter dan mana allies, sekutu. Jadi sebenarnya usaha sosial tersebut sudah bergerak di jalurnya. Selama ini mereka hanya meraba-raba namun sekarang sudah tahu karena diajarkan strateginya.
Memberantas kemiskinan
Dalam jangka pendek, Ani akan mengurus perizinan badan usahanya sebagai CV dengan menjual produk edukasi. Apalagi pascapandemi penjualan pembalut kain dari komunitas tersebut turun hingga 70 persen. Beruntungnya, pada saat bersamaan biaya operasional tertutup undangan pelatihan berbayar.
Komunitas sosial itu juga sudah membuat buku saku kesehatan seksual dan reproduksi berjudul "Aku dan Tubuhku" hasil kolaborasi bersama Dokter Tanpa Stigma dan Bilik Semuanya. Buku yang berisi informasi seputar kesehatan reproduksi itu memuat mengenai siklus menstruasi, kekerasan seksual, cara menjaga kesehatan organ reproduksi, kehamilan yang tidak direncanakan, hingga resep makanan dan minuman saat menstruasi.
Halaman demi halaman buku tersebut tidak hanya berisi kalimat-kalimat informatif tapi juga ilustrasi menarik dari ilustrator, anak Ani, Sang Daulat.
Tujuan usaha sosial mengubah badan usaha menjadi CV agar dapat mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan maupun pemerintah atau donatur. Ia tidak memilih bentuk yayasan karena badan hukum ini tidak bisa melakukan usaha yang menghasilkan profit, sedangkan bila berbentuk CV maka kegiatan sosialnya dapat dibiayai dari margin keuntungan perusahaan.
Selanjutnya dalam jangka menengah, organisasi itu akan membuat yayasan dan merekrut lebih banyak orang untuk mengelolanya sehingga bisa fokus pada program sosial dan menargetkan dapat melatih komunitas-komunitas di kecamatan-kecamatan di Indonesia.
Usaha sosial tersebut baru saja membagikan pembalut kain di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta dan mendapat respons positif. Yang mendapat pembalut kain itu adalah buruh harian, yang untuk makan sehari saja pas-pasan karena penghasilannya untuk anak dan kebutuhan suami sehingga tidak ada yang tersisa untuk membeli pembalut.
Saat anak perempuan usia sekolah tidak bisa membeli pembalut, mereka biasanya lebih memilih tidak bersekolah karena khawatir dirundung (bully) di sekolah. Hal itulah yang kemudian juga menjadi salah satu penyebab prestasi anak perempuan lebih rendah dibanding anak laki-laki.
"Itu yang dimaksud period poverty, kemiskinan menstruasi, karena tidak punya pembalut jadi tidak sekolah, saat tidak sekolah mempengaruhi nilai, terus mereka ketinggalan pelajaran, saat ujian tidak bisa mengerjakan, nilai rapor jadi rendah, kemudian putus sekolah dan terus berlangsung," jelas Ani.
Period poverty inilah yang juga ingin diberantas usaha sosialnya dengan program edukasi dan pemberdayaan perempuan dalam "Perempuan Bantu Perempuan".
Pendekatan penthahelix
Pemerhati kespro dari Asosiasi Kesehatan Remaja Indonesia Loveria Sekarrini mengungkapkan perempuan Indonesia pada usia subur (15-49 tahun) kurang memahami tentang kesehatan reproduksi yang paling mendasar mulai dari mengapa perempuan punya vagina, mengapa laki-laki punya penis, mengapa wanita bisa menstruasi, mengapa laki-laki bisa mimpi basah dan hal lain seputar kespro.
Berdasarkan pengalaman dan survei di berbagai wilayah menunjukkan perempuan kurang memahami bagaimana menjaga organ reproduksi. Pemahaman yang kurang tentang cara merawat organ reproduksi akan berdampak pada masalah kesehatan pada organ reproduksi. Analoginya, makin rendah pengetahuan tentang perawatan organ reproduksi maka kian berisiko terhadap infeksi saluran reproduksi.
Mengutip Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2017, hal paling mendasar soal kespro yaitu pengetahuan masa pubertas, yang mana persentase perubahan fisik masa pubertas wanita yang paling banyak diketahui adalah haid sebanyak 89 persen, namun hanya 33 persen perempuan mengetahui tentang masa subur wanita.
Selain itu hanya sebanyak 8 persen perempuan mampu menjelaskan anemia dengan benar. Persentase perempuan dan laki-laki yang mendapatkan pelajaran tentang kesehatan reproduksi manusia pun hanya 59 persen dan 55 persen.
Padahal pemahaman mengenai kespro, idealnya satu pendekatan siklus hidup, dimulai dari pasangan usia subur dan perempuan usia subur yang memiliki kebutuhan khusus kesehatan reproduksi, masa kehamilan, persalinan, menyusui dan bayi balita, kemudian masuk masa anak sekolah dan remaja, dewasa hingga lansia. Seluruh rangkaian siklus ini akan berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh, jika makin muda perempuan melakukan hubungan seksual, kian besar risiko terhadap kanker serviks.
Pendekatan pentahelix harus dilakukan pada semua level mulai dari level lokal, regional, hingga nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BKKBN, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, komunitas, UMKM, perlu dilibatkan karena banyak sekali teori dan solusi penyelesaian masalah tapi tidak dikerjakan karena kondisinya tidak memungkinkan.
Kata Loveria, perlu melakukan pendekatan khusus agar hal-hal yang tidak bisa dipenuhi masyarakat dapat diadvokasikan sehingga kebutuhan mereka terjawab.
Sudah saatnya semua elemen bergandeng tangan meningkatkan kualitas pemahaman kesehatan reproduksi kaum perempuan.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022