Jakarta (ANTARA) - Setelah bertahun-tahun bergelut dalam isu pendidikan lingkungan, Westiani Agustin (45) menemukan satu stigma yang selama ini hadir di bidang tersebut, yaitu perempuan sebagai kontributor sampah dari pembalut sekali pakai.
Ani, panggilan akrab Westiani, bahkan pernah mendapati seorang sutradara film independen yang akrab dengan isu-isu lingkungan malah memilih foto seorang pria menunjukkan celana dalam perempuan sebagai contoh sampah yang dibuang masyarakat ke sungai.
"Tentu gambar itu merendahkan salah satu gender. Aktivis lingkungan laki-laki menganggap mereka menyelamatkan lingkungan, sedangkan perempuan merusak lingkungan. Kenapa pakaian dalam yang diangkat? Kenapa, misalnya tidak menunjukkan bungkus plastik kresek atau kemasan produk dari perusahaan besar?" kata Ani dalam wawancara dengan Antara di kantor Biyung Indonesia pada akhir Agustus 2022.
Kelahiran Biyung (yang bermakna Ibu) pada 2018 sebagai bentuk social enterprise oleh Ani dan kedua anaknya Ken (saat ini 17 tahun) dan Sang (saat ini 20 tahun) juga berangkat dari keinginan untuk berkontribusi mengurangi beban "Ibu Bumi". Ibu Bumi adalah sebutan familier dalam budaya Jawa untuk menghormati Bumi.
Ketiganya bekerja sama untuk proyek home schooling yang dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi keluarga sekaligus berdampak ke orang lain. Produksi pertama lahir pada 2018 setelah melakukan riset selama sekitar 2 tahun.
Membuat pembalut kain dipilih karena setidaknya ada sekitar 70 juta perempuan Indonesia mengalami menstruasi aktif. Dengan asumsi, masing-masing perempuan memakai pembalut 20 lembar per bulan, akan ada 1,4 miliar pembalut sekali pakai dan berakhir menjadi sampah.
Dari hitungan tersebut, maka dalam setahun ada 16,8 miliar pembalut. Jumlah tersebut bila dijabarkan luasannya bisa mencapai 378 kilometer persegi atau setara Kota Semarang.
Saat memulai bisnis pada 2018, Ani mengaku peminat pembalut kain masih sangat sepi. Ia hanya menawarkan ke lingkaran pergaulan terdekat, termasuk juga menawarkan produk melalui media sosial Instagram dengan akun @B.I.Y.U.N.G. Namun pada 2019, Ani menuturkan Biyung terbantu dengan tren zero waste.
"Konsumen tidak mikir repotnya 'nyuci' pembalut kain, yang penting zero waste. Mereka ganti semua yang sekali pakai. Jadi diperjuangkan," ucap Ani.
Namun pada 2020, bisnis Biyung ikut terdampak pandemi, bahkan berkurang hingga 70 persen, sehingga mau tidak mau penjualan melalui medsos menjadi jalan utama.
Seiring berjalannya waktu, Ani bukan hanya "menjual" pembalut kain, tapi juga memberikan pelatihan dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, cara membuat sendiri pembalut kain hingga bagaimana memproduksi pembalut kain secara massal.
Ani lalu dapat membuat klasifikasi pangsa pasar Biyung. Pasar pertama adalah 20 persen perempuan kelas menengah maupun menengah atas yang memiliki akses ke internet dan media sosial, sehingga memiliki informasi, kesadaran terhadap lingkungan maupun rasa kritis terhadap penggunaan pembalut kain.
Selanjutnya kelompok pasar 80 persen yang berasal dari kelas menengah maupun menengah bawah, yaitu perempuan yang kurang akses terhadap informasi, namun punya memori mengenai penggunaan pembalut kain oleh ibu atau nenek mereka.
"Pasar 20 persen ini dia memang target kami agar mereka mau membeli pembalut, sedangkan yang 80 persen yang harus juga digarap agar mendapat edukasi lingkungan dan kesehatan reporduksi serta bisa membuat sendiri pembalut kain," katanya.
Ani menggarisbawahi misi utama Biyung Indonesia sebagai gerakan socio enterprise adalah mengumpulkan profit dari penjualan produk berupa pembalut kain dan pelatihan untuk selanjutnya melakukan "misi sosial" dengan profit tersebut.
Ia mencontohkan pernah dihubungi Narasi TV yang ingin membeli pembalut kain Biyung untuk perempuan di Desa Raman, Jambi, tapi Ani menawarkan "paket" lain, yaitu agar Narasi TV membiayai pelatihan sekaligus produksi pembalut kain oleh komunitas di Desa Raman tersebut. Biyung pun bekerja sama dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) di Jambi untuk bersama-sama memproduksi pembalut kain, selanjutnya disalurkan juga ke perempuan disabilitas di berbagai panti.
"Target kami adalah bertemu dengan komunitas yang tidak bisa mengakses pembalut lalu kami latih membuat pembalut sehingga mereka bisa memproduksi pembalut kain sendiri untuk diberikan ke komunitas perempuan lain. Misi awal kami adalah mengurangi sampah. Kalau hanya fokus ke 20 persen pasar, maka pengurangan sampahnya tidak akan siginifikan, dan di kelompok 80 persen dilakukan pengurangan sampah, edukasi kesehatan reproduksi sekaligus pemberdayaan perempuan," ujarnya.
Sebagai seorang sociopreneur perempuan, Ani lantas terpilih menjadi salah satu dari 9 perempuan Indonesia penerima pelatihan dalam program "Deepening Impact of Women Activators" (DIWA) untuk Women Social Entrepreneurs (WSEs) dari organisasi Ashoka Indonesia Tahun 2022.
"Ashoka kasih pelatihan untuk membedakan mana yang bisa jadi supporter dan mana allies, sekutu. Jadi sebenarnya Biyung sudah di jalurnya dan diperjelas karena selama ini kami hanya meraba-raba dan sekarang diajarkan strateginya," katanya.
Membuat pembalut kain
Saat pelatihan pembuatan pembalut kain, Ani pun menyediakan bahan-bahan bagi para peserta. Bahan-bahan tersebut juga tersedia di rumah.
"Prinsipnya menggunakan kain yang ada di rumah karena memang kami mengadaptasi teknologi perempuan zaman dulu yang memakai kain di rumah, jadi gratis dan mudah didapat," kata Ani.
Pertama adalah kain motif bebas jenis apa saja yang ada di rumah. Biyung menggunakan kain batik berwarna cerah. Kedua, kain kaos yang dapat menggunakan kaos tak terpakai di rumah. Ketiga, kain waterproof agar pembalut lebih aman dan tidak gampang tembus, di rumah dapat menggunakan perlak bayi atau mantel hujan yang sudah tidak digunakan. Keempat, handuk. Semua jenis kain itu dibuat 506 lapisan.
Ani juga mempersiapkan pola pembalut untuk dipotong oleh para peserta pelatihan.
"Untuk pelatihan kami juga menyediakan pola. Selain melatih menjahit, kami juga memberi pelatihan cara memproduksi pembalut kain dalam jumlah banyak sekaligus bagaimana penggalangan dana agar pembalut hasil produksi tersebut dapat dibagikan ke perempuan-perempuan di wilayah sekitar mereka," tambah Ani.
Pembalut kain untuk pasar 20 persen tidak dijual satuan, tapi dalam satu paket yang terdiri dari 4 pembalut berbagai ukuran, yaitu 1 pembalut ukuran midi, 2 pembalut ukuran reguler dan 1 pembalut ukurang maxi. Semua pembalut tersebut dimasukkan dalam besek bambu yang dipasok oleh perempuan dari desa Wadas.
Untuk merawat dan membersihkan pembalut kain, Ani menyebut caranya sama seperti membersihkan pakaian dalam.
"Mencucinya juga mudah, sama seperti baju yang terkena noda jadi perlu direndam dulu supaya nodanya keluar, lalu digosok dengan tangan. Banyak yang bertanya apakah dapat dicuci dengan mesin cuci, kami menyampaikan penggunaan mesin cuci hanya untuk mengeringkan agar serat pembalut tidak keluar," ucapnya.
Selanjutnya pembalut dijemur di bawah sinar matahari dan pembalut pun dapat digunakan selama 3-4 tahun. Seluruh petunjuk pencucian pembalut ada di dalam paket pembalut yang dijual Biyung Indonesia senilai Rp125.000.
"Mimpi kami sebenarnya agar pemerintah dapat menggratiskan pembalut kain di seluruh puskesmas di Indonesia karena pembalut yang merupakan kebutuhan melekat bagi perempuan, sekaligus hak asasi perempuan, sehingga seharusnya dapat dijangkau seluruh perempuan Indonesia di setiap kecamatan, melalui puskesmas," tutur Ani.
Biyung, menurut Ani, melatih berbagai komunitas perempuan di berbagai kecamatan untuk menjahit pembalut kain sendiri, sehingga bila suatu saat pemerintah mengeluarkan kebijakan penyediaan pembalut kain di setiap puskesmas, maka pemerintah dapat membeli pembalut tersebut ke komunitas-komunitas, bukan membeli dari industri besar.
Dosen program studi Kesehatan Masyarakat di Universitas MH Thamrin Jakarta Loveria Sekarrini mengakui perempuan Indonesia belum akrab untuk menggunakan pembalut kain.
"Isu pembalut kain menyebabkan iritasi memang kerap terjadi, namun pada dasarnya, tidak ada satu pun material atau bahan yang cocok untuk semua perempuan. Setiap jenis produk untuk menampung darah menstruasi sangatlah bervariasi dan memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan," kata Love, panggilan akrab Loveria.
Menurut Love, pembalut kain ada yang berbahan katun dan berbagai variasi bahan yang bersifat alami maupun material sintetis. Namun hingga saat ini belum ada riset ilmiah yang dapat menunjukkan berapa durasi penggunakan pembalut kain.
"Riset terkait dengan penggunaan pembalut kain masih cukup terbatas namun beberapa riset membahas tentang penggunaan pembalut kain yang salah dapat berisiko untuk perempuan, seperti menyebabkan infeksi pada saluran reproduksi, iritasi dan infeksi urogenital," ucap Loveria.
Penggunaan yang aman harus disertai dengan prinsip untuk menjaga kebersihan pembalut dengan memastikan bahwa penggunanya "mencuci dan membersihkan pembalut dengan baik dan dikeringkan dengan baik serta disimpan dengan baik". Menurut Love, sejumlah riset dengan berbagai produk tertentu menyatakan bahwa pembalut kain dapat digunakan hingga 1 tahun.
Sedangkan penjual pembalut kain harus menyediakan satu set pembalut yang terdiri dari minimal lima pembalut warna terang, dapat dicuci dan digunakan kembali. Pembalut terbuat dari bahan katun dengan penyerap lembut, sebaiknya kain flanel dengan sintetis dukungan kedap air, minimal tiga bantalan harus memiliki sayap.
Selain itu, satu set harus mencakup minimal dua pemegang dengan pita dan tepi dijahit atau penguncian/fiksasi lain yang memadai untuk mengamankan bantalan pada posisinya. Kualitas pembalut kain harus memadai untuk menahan beberapa kali pencucian setidaknya satu tahun.
Satu set pembalut kain juga harus dilengkapi tas katun untuk penyimpanan dan penggunaan, serta petunjuk perawatan pembalut sedangkan prinsip penggunaan, pembalut harus diganti setiap 3-4 jam sekali atau jika sudah penuh atau lembab.
Pembalut dan mikroplastik
Penggunaan pembalut kain memang diharapkan dapat mengurangi sampah plastik di Indonesia. Apalagi Indonesia menempati urutan kedua setelah China sebagai negara penghasil sampah plastik terbanyak di perairan, dengan rata-rata sampah plastik yang dihasilkan mencapai 4 juta ton per tahun.
Dosen program studi Biologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Inggita Utami menyebut dalam riset tahun 2020, rata-rata sampah plastik di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 10,36 juta ton per tahun.
Sampah plastik menjadi bahan yang sulit terurai di alam dan membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk dapat terurai, tapi proses penguraian sampah plastik dapat menjadi permasalahan serius saat terurai menjadi ukuran mikroskopis atau disebut mikroplastik.
Mikroplastik merupakan partikel plastik yang memiliki ukuran diameter kurang dari 5 mm. Ukurannya yang sangat kecil dan transparan sering dianggap sebagai makanan fauna di perairan dan tanah. Mikroplastik berasal dari berbagai produk olahan plastik, mulai dari kantong plastik, botol minuman, kemasan makanan, wadah, popok, pembalut sekali pakai hingga sabun pembersih muka.
Mikroplastik yang terakumulasi dalam tubuh satwa dapat mengganggu pertumbuhan, hingga mengurangi bobot badan. Mikroplastik yang terkonsumsi oleh manusia melalui rantai makanan akan menimbulkan gangguan kesehatan, seperti pertumbuhan sel kanker dan kerusakan jaringan pada tubuh manusia, hingga bersifat karsinogenik.
"Pembalut kain memang bagus, tapi harus dipastikan dulu kainnya terbuat dari apa? Jangan kain berbahan poliester, yang sesungguhnya juga plastik, hanya poliester itu partikelnya sudah mikroskopis sehingga ketika pembalut dibersihkan, maka ada mikroplastik juga yang terbuang ke lingkungan. Akan lebih sempurna kalau pembalut kain itu bukan berasal dari kain polimer sintetis, melainkan dari alam, hanya saja sekarang sudah susah menemukannya. Katun saja banyak dari poliester," kata Inggit.
Inggit yang juga pernah menggunakan pembalut kain mengaku berhenti menggunakannya karena merasa iritasi setelah memakai beberapa saat.
"Sudah 3 tahun dipakai, sudah gatal dan makin lama makin tebal, dan namanya darah harus dicuci bersih. Kadang saya cuci pakai sabun mandi karena khawatir ada residu detergen yang tertinggal di pembalut, tapi saat memakai sabun mandi nodanya jadi tidak hilang, sehingga saya pun jadi kurang nyaman memakainya," ungkap Inggit.
Inggit pun mengaku sudah setahun terakhir tidak menggunakan pembalut kain. Ketika ingin membeli pembalut kain, Inggit pun menyebut harganya masih jauh lebih mahal dibanding membeli pembalut sekali pakai yang terbuat dari plastik.
"Jadi perlu ada kajian produksi dari sisi harga, walau kalau dibandingkan dengan membuang pembalut sekali pakai tentu lebih bahaya yang sekali pakai," tambah Inggit.
Inggit dan tim dari Universitas Ahmad Dahlan pun pernah melakukan riset setidaknya di dua sungai di Yogyakarta, yaitu Sungai Opak dan Sungai Progo. Kedua sungai itu masih banyak dimanfaatkan oleh warga untuk memancing, hingga sebagai air baku Perusahaan Daerah Air Minum Bantul.
Pengambilan data dilakukan pada Desember 2020 pada daerah hilir Sungai Opak dan Sungai Progo di Kabupaten Bantul DI. Yogyakarta. Hasilnya, seluruh sampel sedimen sungai teridentifikasi mengandung mikroplastik, yaitu di Sungai Progo sebesar 209,37 - 1.173,25 partikel per 1 kilogram sedimen yang diambil, sementara Sungai Opak 314,54 - 3.729,67 partikel per 1 kilogram sedimen. Kelimpahan Sungai Opak bahkan hampir tiga kali lipat dari pada di Sungai Progo.
Daerah hilir Sungai Opak dan Sungai Progo merupakan akumulasi dari berbagai sumber pencemar yang berasal dari limbah rumah tangga, ataupun aktivitas domestik lainnya, seperti pasar, restoran, hotel, objek wisata, nelayan dan limbah dari aktivitas industri.
Aktivitas penambangan pasir yang marak dilakukan di kedua sungai menjadi sumber pencemar mikroplastik karena pasir banyak ditampung menggunakan karung beras plastik sebagai sumber mikroplastik fiber.
Menurut riset yang dilakukan Suwartiningsih dkk (2020) mikroplastik juga ditemukan pada 97,5 persen sampel ikan yang berada di Tempat Pelelangan Ikan di Pantai Baron dengan kelimpahan 45,6 partikel/individu.
Namun persoalannya hingga saat ini mikroplastik belum menjadi parameter yang ditetapkan dalam baku mutu air di Provinsi DI. Yogyakarta. Padahal jika dilihat dari hasil kelimpahan mikroplastik yang ditemukan, khususnya di Sungai Progo dan Sungai Opak, mikroplastik ini sudah sangat mengancam keberadaannya.
Mikroplastik yang tertelan oleh satwa di sungai, seperti ikan, udang, akan masuk ke rantai makanan dan mengancam kesehatan manusia yang memakan hewan tersebut.
"Hal tersebut seharusnya menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan produk plastik sekali pakai dan industri yang menggunakan serat sintetis dan microbeads agar limbahnya tidak terakumulasi di sungai daerah Bantul hingga ke laut di Samudera Hindia," ungkap Inggit.
Selain edukasi kepada masyarakat, Inggit pun berharap agar pemerintah dan pihak pengelola air harus meningkatkan tekonologi filtrasi penyaring air.
"Pemerintah harus mikir bahwa mikroplastik harus dimasukkan ke ambang mutu air minum untuk masyarakat. Bila pemerintah sudah teredukasi, maka dapat mendorong teknologi untuk mengurai mikroplastik, baik teknologi buatan maupun dengan mengolah enzim dari mikroorganisme," tambah Inggit.
Memulai langkah kecil untuk merawat Ibu Bumi harus dilakukan oleh semua perempuan, apapun bentuknya, saat ini juga.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022