Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyarankan perlunya pemberian insentif berupa subsidi bunga agar perbankan tidak ragu menjadikan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai jaminan utang.
"Dukungan dalam hal insentif program jaminan maupun subsidi bunga dari pemerintah menciptakan confidence dari sisi perbankan maupun perusahaan pembiayaan," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Dian menuturkan sebagaimana sudah diberitakan bahwa pemerintah sudah memiliki kebijakan itu yang diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam menciptakan dan mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan nasional meningkatkan daya saing global guna tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.
"Dengan demikian industri kreatif terkait HKI yang masih tergolong muda ini perkembangannya akan sangat tergantung pada insentif inovasi yang diberikan pemerintah dan otoritas terkait," ujarnya.
Dalam menjadikan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang, lanjut dia, masih terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh perbankan maupun perusahaan pembiayaan. Antara lain bentuk perikatan yang dipersyaratkan yang belum diatur secara jelas karena saat ini jenis HKI yang memiliki dasar hukum perikatan yang jelas itu hanya hak cipta dan hak paten.
Baca juga: OJK: Dampak kenaikan suku bunga acuan ke perbankan tak signifikan
"Sebagaimana diatur dalam undang-undang yaitu berupa peningkatan secara fidusia. Sementara jenis hak-hak yang lain belum diatur dasar hukumnya," ucapnya.
Kemudian dibutuhkan pedoman penilaian atas nilai ekonomis yang masih perlu dikaji dan diatur oleh berbagai pihak yang ahli dalam bidang HKI, mengingat saat ini belum ditetapkan rumus baku penilaian HKI yang dapat dijadikan dasar penilaian jaminan oleh bank.
Selain itu diperlukan penetapan lembaga penilai atas-atas nilai ekonomis yang melekat pada HKI, sebab saat ini belum terdapat lembaga penilai yang khusus menilai HKI dan sebagai acuan untuk bank. Serta, penetapan tata cara eksekusi HKI dan juga lembaga yang membantu dalam melaksanakan eksekusi HKI yang dijadikan agunan.
"Kemudian juga secondary market tentu saja yang belum tersedia. Sehingga pada saat eksekusi nanti, misalnya agunan itu tidak dapat dilakukan penjualan yang efektif tanpa ada secondary market yang likuid," papar Dian.
Adapun mengenai kebijakan pemerintah yang menetapkan Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual, Dian menjelaskan OJK mendukung implementasi HKI sebagai salah satu objek jaminan utang, tentunya dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik di sektor jasa keuangan.
Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan serta POJK No.42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum, bank dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam hal ini, agunan hanya merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan bank dalam pemberian kredit, dan agunan yang dapat diterima sebagai jaminan kredit merupakan keputusan bank berdasarkan penilaian atas debitur atau calon debitur.
Baca juga: OJK: Restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 terus bergerak melandai
Baca juga: OJK: 37 bank masih miliki modal inti di bawah Rp3 triliun
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022