Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan sebagaimana ketentuan dalam konstitusi bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara karena upaya bela negara merupakan tanggung jawab bersama seluruh warga negara Indonesia.

"Rumusan konstitusi itu setidaknya mengisyaratkan dua pesan penting. Pertama, upaya bela negara adalah tanggung jawab bersama segenap warga negara, tanpa kecuali," ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, dalam acara Sidang Terbuka Senat Universitas Kristen Indonesia, di Jakarta, Senin, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.

Kemudian pesan kedua, lanjut dia, upaya bela negara memiliki dua dimensi implementasi, yakni sebagai hak warga negara untuk berpartisipasi dan sebagai kewajiban ketika kondisi mengharuskan adanya partisipasi warga negara.

Baca juga: Bamsoet apresiasi terbitnya buku 'NKRI Harga Mati'

Bamsoet menyampaikan bahwa upaya bela negara memiliki spektrum pemaknaan yang luas. Di antaranya, bela negara merupakan tekad, sikap, dan tindakan dari setiap warga negara yang dilandasi rasa cinta Tanah Air. Berikutnya, upaya bela negara didasari keinginan untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan NKRI dari berbagai ancaman yang ada.

Dengan demikian, ujar Bamsoet, konsepsi bela negara tidak boleh dimaknai secara sempit oleh bangsa Indonesia, seperti hanya dimaknai sebagai upaya menjaga dan melindungi negara dari ancaman militer.

"Ancaman nonmiliter yang bersifat kasat mata, kompleks, dan berdimensi ideologis justru menghadirkan tantangan yang tidak mudah ditanggulangi. Ancaman tersebut berwujud beragam fenomena, seperti intoleransi dalam kehidupan masyarakat, kemunculan radikalisme, terorisme, disintegrasi, separatisme, serta beragam bentuk ancaman lainnya yang menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa ini," lanjut dia.

Baca juga: Bamsoet ajak seluruh elemen bangsa teguhkan arah cita-cita Indonesia

Bamsoet menyampaikan mengenai potensi ancaman nonmiliter yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, ancaman kemunculan intoleransi dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana ditunjukkan hasil survei nasional dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta pada akhir tahun 2020.

Hasil survei itu menunjukkan bahwa sekitar 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah.

Berikutnya, hasil survei dari SMRC pada bulan Juni 2022 mengindikasikan bahwa tingkat toleransi publik di Indonesia masih rendah dengan indeks sebesar 49,1 dalam skala 0-100.

"Selanjutnya, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga tahun 2021 masih ada sekitar 33 juta penduduk Indonesia yang terpapar radikalisme. Sementara itu, isu separatisme dan aksi kekerasan, khususnya di wilayah Papua masih menyeruak sepanjang tahun 2022 dan menyebabkan jatuhnya korban masyarakat sipil," ucapnya.

Baca juga: Ketua MPR minta masyarakat tak lengah hadapi ancaman resesi global

Di samping itu, tambah Bamsoet, ada pula persoalan nilai-nilai asing yang muncul melalui globalisasi dan menggeser nilai-nilai kearifan lokal dan menggerus nilai-nilai keindonesiaan.

Dengan demikian, menurut dia, sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya, posisi geografis dan geopolitik yang strategis, serta menjadi pusat daya tarik bagi kepentingan global, dan penduduk yang majemuk, maka Indonesia rentan terhadap infiltrasi asing dan ancaman perpecahan.

"Oleh karena itu, makna konsep bela negara secara komprehensif adalah integrasi dari upaya mempertahankan kedaulatan negara dalam segala aspek dan dimensi, baik melalui kedaulatan politik, ideologi, pertahanan keamanan, wilayah teritorial, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Di sinilah, urgensi menghadirkan konsep bela negara dalam dimensi ideologis," ujar Bamsoet.

Dia menambahkan ancaman tersebut perlu diatasi dengan pembaruan paradigma dan pengembangan strategi bela negara yang sesuai dengan kebutuhan zaman

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022