Jakarta (ANTARA) - Panitia Khusus (Pansus) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengundang Robert Budi Hartono dan Sjamsul Nursalim untuk kedua kalinya pada 7 September 2022 dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pendalaman materi penuntasan BLBI.

Robert Budi Hartono adalah pemilik usaha Grup Djarum, sedangkan Sjamsul Nursalim merupakan pemilik PT Gajah Tunggal Tbk.

Ketua Pansus BLBI DPD Bustami Zainudin di Jakarta, Senin, mengatakan Robert diundang untuk diminta keterangan terkait pembelian grup usahanya dalam mengakuisisi PT Bank Central Asia (BCA) pada 2003 senilai Rp5 triliun untuk 51 persen saham, padahal di saat bersamaan BCA memegang obligasi rekap Rp60 triliun.

"Jadi dalam setahun bunga rekap yang dibayar pemerintah kan kira-kira Rp6 triliun hingga Rp7 triliun, sehingga tak sampai dua tahun sudah balik modal? Nah, ini perlu pendalaman masalah ini, bukan untuk apa-apa tetapi agar masalah BLBI segera selesai termasuk dugaan penjualan aset BCA yang merugikan negara," kata Bustami.

Surat undangan bertanggal 22 Agustus tersebut ditandangani oleh Sekjen DPD dan ditembuskan kepada Ketua DPD, Ketua Pansus BLBI DPD, Deputi Bidang Persidangan DPD, dan Kepala Biro Persidangan I DPD. Dalam surat itu, diterangkan baik Robert maupun Sjamsul telah dipanggil pertama kali pada 12 Agustus lalu, namun keduanya tidak hadir.

Baca juga: DPD RI minta pembayaran subsidi bunga obligasi eks BLBI diberhentikan

Menurut Bustami, BCA yang terus menerima bunga obligasi rekap tersebut diduga telah menjual obligasi rekapnya ke pasar internasional, sehingga jika negara melakukan moratorium pembayaran bunga rekap, negara bisa dipermasalahkan di dunia keuangan internasional.

"Kekhawatiran DPD adalah menyelesaikan masalah BLBI dan obligasi rekap sehingga tidak ada beban lagi bagi negara ini maupun para pengusaha itu sendiri di masa depan. Kita tuntaskan sekarang atau nanti malah semakin berlarut-larut," tegasnya.

Sementara undangan untuk Sjamsul Nursalim, kata dia, adalah terkait dengan kucuran BLBI senilai Rp4,8 triliun dan Rp28,4 triliun yang kemudian dibayar dengan Tambak Dipasena, yang ternyata setelah dilelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya terjual Rp300 miliar.

"Berdasarkan perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA), pembayaran utang oleh Sjamsul dilakukan secara tunai sebesar Rp1 triliun dan melalui penyerahan aset senilai Rp27,49 triliun. Tapi asetnya ini, yaitu Dipasena, hanya terjual Rp330 miliar, ini bagaimana ceritanya?,” tutur Bustami.

Dengan demikian, dirinya berharap baik Robert dan Sjamsul bisa menghormati surat undangan yang telah diberikan, lantaran itu berarti mereka menghormati lembaga negara perwakilan sah dari rakyat Indonesia.

Baca juga: Pengamat minta Satgas BLBI harus pastikan semua langkah

Baca juga: Pengamat dorong Satgas BLBI berdialog dengan obligor

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022