Jakarta (ANTARA) - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah meresmikan Pondok Pesantren Tahfidz Difabel KH Ahmad Lutfi Fathulah yang lokasinya berada di Jalan Manunggal Jaya, samping Kelurahan Lebak Bulus, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, pada Sabtu (27/8).

Lembaga itu merupakan pondok difabel pertama di DKI Jakarta dan pondok difabel tuna rungu kedua di Indonesia, setelah Pesantren Tuna Rungu Darul Ashom yang berada di Yogyakarta.

Pondok Pesantren Tahfidz Difabel itu dipimpin oleh Ahmad Sholeh yang juga Kepala Bidang Distribusi dan Pendayagunaan Baznas Bazis Provinsi DKI Jakarta.

Menurut dia, sudah menjadi kewajiban bagi Baznas Bazis DKI Jakarta untuk memfasilitasi orang-orang difabel untuk meraih hak dasar mereka, yang salah satunya mendapat pendidikan agama.

"Kita berharap anak-anak yang selama ini rata-rata belum bisa baca Quran, tidak tahu Islam dan solat seperti apa. Makanya dari segi kewajiban kita untuk memberikan mereka pelajaran," kata Sholeh.

Sholeh menjelaskan ide membuat Pondok Pesantren Tahfidz Difabel ini merupakan gagasan dari Ketua Baznas Bazis Provinsi DKI Jakarta KH Ahmad Luthfi Fathullah.

Pemilihan nama beliau sebagai nama pondok pesantren dengan tujuan untuk menghargai jasa-jasanya selama mengabdi di lembaga tersebut.

Adapun alasan memprioritaskan pondok pesantren khusus santri tuna rungu lantaran belum pernah dibangun di DKI Jakarta.

Selain itu, menurut Sholeh, untuk orang yang tunanetra masih bisa lebih mudah belajar Al-Quran karena masih bisa mendengar sehingga berbeda dengan tuna rungu.

"Tapi kalau tuna rungu kemampuan mereka terbatas. Mereka masih harus belajar baca Quran dan belum tahu bagaimana kewajiban shalat. Makanya kami memprioritaskan," tuturnya.

Ke depannya, Baznas Bazis akan membuka Pondok Pesantren Tahfidz Difabel untuk laki-laki dan juga sedang mencari para pengajar pondok.


Privasi lebih tinggi

Saat Antara mengunjungi lokasi Pondok Pesantren tersebut terlihat bangunan itu berdesain modern serta didominasi warna oranye.

Banyaknya pohon serta tanaman semakin menambah rasa sejuk dan rindang membuat betah berlama-lama di sana.

Ustaz Ayub, salah satu pengajar di Pondok Pesantren Tahfidz Difabel Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat. (2/9/2022) ANTARA/Luthfia Miranda Putri

Sementara itu, Ustaz Ayub Syahrul, salah satu pengajar di pondok tersebut menjelaskan bagaimana proses belajar mengajar kepada para santri perempuan yang ada di sana.

Menurutnya, tentu pembelajaran anak berkebutuhan khusus akan berbeda pada anak normal umumnya. Mereka cenderung membutuhkan privasi yang lebih tinggi.

"Memang kan anak berkebutuhan khusus privasinya lebih tinggi dari anak biasa. Bahkan menurut SOP mereka tidak bisa disebut namanya, inisialnya saja," katanya.

Ayub menyebutkan banyak masyarakat yang belum mengetahui kalau setiap anak memiliki kekurangan, namun juga ada kelebihan.

Maka dari itu, anak-anak difabel memiliki kemampuan untuk lebih peka membaca mimik muka seseorang, apakah orang lain bisa terbuka dengan mereka.

"Kita tidak hanya memberikan ilmu, tapi memberikan rasa percaya mereka karena di luar sana banyak orang yang menangani berkebutuhan khusus, namun belum ada rasa cinta kepada anak-anak ini," tuturnya.

Ayub menambahkan anak-anak difabel cenderung akan meniru apa yang orang normal ucapkan dan melihat apa yang dilakukan.

"Jadi kami harus mencontohkan langsung, seperti Shalat Tahajud ya kita juga harus shalat. Tidak seperti santri pada umumnya. Harus lihat langsung, baru mereka meniru dan melakukannya," katanya.

Ke depannya, Ayub mengatakan pihak pondok pesantren akan menambah kelas-kelas untuk bisa mengembangkan bakat dan kemampuan santri sesuai hobi mereka.

"Rencananya bakat sesuai dengan hobi anak-anak, ada melukis, komputer, memanah dan bela diri. Ini akan melatih fokus mereka yang masih kurang," ujarnya.


Metode belajar berbeda

Dalam kesempatan yang sama, Ustazah In'am Iqramah mengatakan sudah sebulan dirinya mengajar 10 santri angkatan pertama di pondok pesantren ini.

In'am mengatakan para santri berasal dari Jabodetabek, yang kebanyakan dari Depok dan Priok, serta berusia 13-19 tahun setara jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).

"Untuk bisa bergabung di pondok pesantren ini, akan diberikan, yang salah satunya mengetes tingkat pendengaran," kata In'am.

Ditambahkan pihaknya hanya bisa menerima santri yang tuna rungu dan tidak dipungut biaya sepeser pun.

Sehari-harinya kegiatan yang dilakukan para santri, yakni dari tahajud dan shalat shubuh kemudian dilanjutkan dengan piket, mandi, dan sarapan sejak pagi hari.

Lanjut pada siangnya, setelah shlat dzuhur para santri akan istirahat, kemudian berlanjut mengikuti kajian kultum.

Menjelang maghrib, para santri bisa makan dan membersihkan diri untuk mengikuti kegiatan hafal Al-Qur'an pada malam hari. Kegiatan ditutup dengan mereka beristirahat di asrama yang berada di lantai dua.

Sementara pada Sabtu dan Minggu, para santri diarahkan untuk menonton film Islami, olahraga dan melakukan kegiatan bebas, seperti naik sepeda, menggambar, dan bermain, seperti puzzle hingga bekel.

Sebanyak empat guru yang mengajar terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki yang belajar terlebih dahulu di Pesantren Darul Ashom Yogyakarta.

Sementara itu, dalam pembelajaran Al-Quran para santri tuna rungu memiliki metode berbeda dalam menghafal Al-Qur'an, yakni dengan menghafal per huruf hijaiyah.

"Hafalan Quran per huruf. Kami tulis, misalnya alif di papan tulis abis itu kami gerakin. Jadi kami nulis, kami gerak juga tangannya," tuturnya.

In'am menjelaskan saat mengajar tuna rungu gerakan tangan dan mulut harus bersamaan agar santri bisa memahami.

Perlakuan setiap anak difabel pun harus diperlakukan berbeda, lantaran tergantung pendidikan dari orang tuanya di rumah.

"Megang sapu saja belum pernah. Jadi kami bantu pegang sapu, kami bantu cara ngepel, cuci piring. Karena di sini selain mereka belajar agama dan Al-Quran, mereka mandiri juga," tuturnya.

Kendala yang dialami In'am selama mengajar adalah komunikasi lantaran para santri belum banyak menguasai bahasa.

Namun ia berharap para santrinya ini bisa mendapat pendidikan setara SMA meski dari komunikasi dan kosakata bahasanya berbeda dari anak pada umumnya.

Sejak dahulu, ustazah yang pernah kuliah di jurusan psikologi ini mengaku suka dengan kegiatan sosial, sehingga mengajar di pondok pesantren ini merupakan ladang pahala.

"Kesannya mengajar di sini luar biasa, kayak pahala kan selalu kita duduk di masjid nyari pahala. Ibaratnya kita sambil urus para santri kita dapatlah percikan pahala," ujar In'am.

In'am merasa senang dan bisa merasa terhibur saat bersama santri selama sebulan dirinya mengajar.

Santri tampilkan hafalan Al Quran di Pondok Pesantren Tahfidz Difabel Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat. (2/9/2022) ANTARA/Luthfia Miranda Putri in

"Apalagi teman mereka di luaran sana terbatas. Jadi ya harapannya kami sebagai pendamping juga bisa menjadi teman buat mereka," tambahnya.

Harapan In'am, para santrinya jika lulus dari pondok pesantren nanti bisa bergaul dengan masyarakat dan ilmunya bisa bermanfaat untuk mengajarkan anak-anaknya kelak.


Cita-cita Santri

Sementara itu, salah satu santri bernama Yesa mengaku senang bisa belajar di Pondok Pesantren Tahfidz Difabel lantaran bisa belajar Al-Quran.

"Mau belajar di sini enak. Enak hafal belajar Al-Quran dan teman-temannya baik," kata Yesa, dengan bahasa isyarat yang dibantu oleh In'am menerjemahkan.

Yesa mengaku dirinya memiliki cita-cita menjadi dokter dan ustazah di masa depan.

"Yesa memang hobi belajar Quran. Dia demen suka gitu. Kecuali kalau mereka capek, ngantuk gak bisa kami paksa," ujar In'am.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022