Ia mengatakan, untuk meningkatkan efisiensi perbankan dalam melakukan pembiayaan sektor riil, BI menaikkan batas maksimum penilaian kualitas aktiva produktif yang berdasarkan hanya pada ketepatan membayar kredit dari Rp500 juta menjadi Rp1 miliar, kecuali untuk UKM.
"Untuk UMKM sampai dengan 20 miliar (penilian dengan satu pilar tersebut) sepanjang sistem pengendalian risiko bank tersebut tergolong kuat dan rasio kecukupan modalnya sesuai ketetentuan dan hasil penilaian CAMELS dengan peringkat keseluruhan (komposit) 3," katanya.
Sementara batas maksimum sampai dengan Rp10 miliar diperbolehkan sepanjang sistem pengendalian resiko tergolong "acceptable" (diterima) dan rasio kecukupan modal sesuai dengan ketentuan dan hasil penilain CAMELS dengan peringkat keseluruhan 3.
BI juga menurunkan kriteria properti terbengkalai yang harus diberi pencadangan. Properti yang secara efektif untuk aktivitas bisnis bank dengan persentase 50 persen yang sebelumnya dinilai barang terbengkalai, sekarang tidak menjadi barang terbengkalai.
"Misalnya bank punya gedung sepuluh lantai, ternyata yang bermanfaat hanya lima lantai, maka lima lantai berikutnya masuk dalam barang terbengkali sekarang tidak lagi terbengkalai. Jadi bank tidak perlu menyisihkan pencadangan," katanya.
BI juga memperpanjang jangka waktu pelaksanaan penilaian agunan sebagai pengurang penyisihan penghapusan aktiva (PPA) dimana untuk kredit lebih dari Rp5 miliar diperpanjang dari 12 bulan terakhir menjadi 18 bulan terakhir.
Guna memperluas jangkauan pelayan perbankan, BI menyederahanakn beberapa aturan, misalnya membuka kantor kas dan kegiatan pelayanan kas seperti ATM tanpa perlu ijin lagi, cukup melalui laporan rencana bisnis bank.
Sedangkan untuk memperkuat sistem perbankan, BI memperpanjang masa transisi penerapan risiko operasional dalam perhitungan kecukupan modal dalam rangka Basel II. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009