Padang (ANTARA) - Magrib, yang baru saja selesai saat gerimis mulai turun, membiaskan beragam warna dari lampu-lampu Kota Padang, Sumatera Barat, yang masih menyisakan semarak HUT Ke-77 RI.


Sebagian orang sudah sampai di rumah pada jam itu. Berkumpul menikmati sajian di meja makan. Menikmati hangatnya keluarga dalam cuaca yang menggigilkan. Malam yang syahdu.

Akan tetapi tidak bagi Andri (38). Sejak gerimis turun, rasa gamang merayapi hatinya. Malam itu ia harus berangkat ke Solok. Dua anaknya yang tengah demam telah beberapa kali menelepon sejak sore, minta ayahnya segera pulang.


Seperti yang sudah-sudah, jika ia tidak pulang, demam anak-anak akan menjadi-jadi. Panas tubuhnya naik. Rewel. Istrinya pasti akan panik sendirian menjaga dua anak yang sedang demam.

Mau tidak mau, ia harus pulang ke Solok. Namun gerimis yang makin rapat membuat hatinya kian tak enak. Gerimis bisa tiba-tiba menjadi hujan. Dan bila hujan, artinya ia harus siap untuk bertaruh nyawa untuk pulang ke Solok.

Jalur paling cepat dari Kota Padang ke Solok adalah lewat Sitinjau Lauik. Jaraknya hanya sekitar 54 km atau 1,5 jam perjalanan. Tidak terlalu jauh. Itu menjadi pilihan utama. Jalan lain adalah lewat Padang Panjang, namun jaraknya hampir tiga kali lipat sekitar 132 km.

Meski jaraknya lebih dekat dan menjadi pilihan utama, Sitinjau Lauik bukan jalan dengan medan yang biasa. Tidak sedikit yang menjulukinya sebagai jalur maut. Jalan itu penuh tanjakan dan turunan terjal. Dipenuhi belokan tajam, tebing, dan jurang mengikuti kontur perbukitan.

Saat gerimis, kabut tebal akan menyelimuti kawasan itu sehingga jarak pandang amat pendek. Pengendara harus ekstrahati-hati jika tidak ingin terjerumus masuk jurang yang menganga dalam.

Namun yang membuat Andri lebih gamang adalah longsor. Sejak awal Agustus 2022, entah sudah berapa kali longsoran besar dan kecil terjadi di jalur itu. Puncaknya pada 22 Agustus 2022, longsor terjadi pada empat titik. Tanah dan batuan dari tebing runtuh menutup habis badan jalan. Entah apa jadinya jika ada kendaraan yang melintas saat longsor terjadi.

Beruntung hingga saat ini belum ada korban jiwa akibat longsor. Masalahnya, sampai kapan keberuntungan itu bisa bertahan? Pascalongsor, kondisi tebing di Sitinjau Lauik makin mengerikan. Tanah dan batu-batu besar terlihat labil menggantung. Sedikit dorongan akan membuat batuan yang sebagian sama besarnya dengan truk tronton itu terguling ke jalan. Andri tidak berani membayangkan bila hal itu terjadi saat ia tengah melintas di sana.

Kegamangan itu tidak hanya dirasakan Andri. Ribuan pengendara yang lewat di jalur Sitinjau Lauik setiap hari merasakan hal yang sama. Status warganet di beberapa platform media sosial yang meminta pemerintah untuk bergerak cepat mengatasi longsoran itu menjadi salah satu indikasi.


Macet akibat antre menunggu alat berat membersihkan badan jalan dari guguran tanah dan batuan masih bisa ditahan. Namun longsor yang bisa terjadi tiba-tiba, apalagi saat hujan, dengan apa akan ditahan? Sungguh membuat resah pelintas jalur itu.

Pemerintah tentu peduli atas masalah tersebut. Sudah dua kali Gubernur Sumbar Mahyeldi meninjau langsung kondisi Sitinjau Lauik. Belasan pejabat diboyong untuk mencarikan solusi. Intinya, masalah longsor itu harus segera diatasi.


Orang nomor satu di Sumbar itu ikut merasakan resah masyarakatnya yang selalu ketar-ketir ketika melewati Sitinjau Lauik. Ia tidak ingin ada korban jatuh akibat longsor.

Selain itu, jalan Sitinjau Lauik adalah salah satu urat nadi perekonomian Sumbar. Arus barang yang datang dari Jakarta dan beberapa provinsi tetangga seperti Lampung, Palembang, dan Jambi harus melewati jalur yang menjadi bagian Jalan Lintas Tengah Sumatera itu.


Terputusnya jalur di Sitinjau Lauik akan menghambat kelancaran arus barang ke Padang. Efeknya, secara ekonomi akan sangat terasa. Angka inflasi Sumbar bisa melonjak. Padahal saat ini inflasi provinsi itu sudah masuk salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Gubernur Sumbar Mahyeldi dan Kepala BPJN Sumbar,Syahputra meninjau kondisi Sitinjau Lauik. (ANTARA/Miko Elfisha)
Ancaman pidana dan denda

Idealnya tebing perbukitan yang labil itu, tempat tanah dan bebatuan besar menggantung, harus dikepras sehingga potensi longsor bisa diminimalkan.

Akan tetapi, solusi ideal itu pula sebenarnya yang menjadi permasalahan utama yang terjadi di Sitinjau Lauik. Tebing bukit yang labil itu masuk dalam kawasan hutan lindung yang memiliki aturan sendiri. Memapas bukit yang berstatus hutan lindung tidak semudah membalik telapak tangan. Ada ancaman pidana yang mengintai. Salah-salah pengepras bisa masuk penjara.

Berdasarkan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), orang atau korporasi yang merusak hutan bisa dikenai pidana dan denda.

Pada Pasal 82 ayat (2) UU No 18 tahun 2013 disebutkan, "Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."

Sementara Pasal 82 ayat (3) UU No 18 tahun 2013 memuat ancaman terhadap korporasi yang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a; melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Ancaman pidana dan denda dalam undang-undang itu membuat pihak terkait yang diharapkan bisa membantu menyelesaikan persoalan longsor di Sitinjau Lauik harus berpikir dua kali untuk memulai pekerjaan.

Meski tujuannya baik untuk mencegah jatuhnya korban jiwa yang melewati jalan Sitinjau Lauik, bila ancamannya adalah penjara dan denda, rasanya tidaklah adil.

Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sumbar Syahputra A. Gani memiliki sikap yang sama, tidak ingin usaha mereka membantu malah akan mengorbankan anggotanya.


Sikap itu tidak bisa disalahkan karena selama membersihkan jalan dari material longsor di Sitinjau lauik, salah seorang anggotanya pernah dipanggil dan diinterogasi hingga 1,5 jam lebih oleh BKSDA Sumbar. Pemanggilan itu terkait status tebing rawan longsor yang berstatus hutan lindung itu.

Apalagi kewenangan BPJN hanya ruas jalan nasional, tidak termasuk tebing jalan seperti di Sitinjau Lauik. Karena itu ia lebih fokus untuk mengusahakan agar akses jalan itu tetap bisa dilalui.


Tiga alat berat diturunkan ke lokasi longsor untuk membersihkan jalan dari material longsor yang terus saja runtuh saat hujan.

"Pokoknya kita kerja untuk memastikan masyarakat tidak kehilangan akses jalan di Sitinjau Lauik," katanya.

Rumitnya persoalan hutan lindung itu membuat jalan Sitinjau Lauik tetap menjadi jalur maut.

Sudah saatnya semua pihak terkait, Pemprov Sumbar bersama organisasi perangkat daerah (OPD) yang terlibat seperti Dinas Kehutanan, Dinas PU, BPBD, BPJN Sumbar, dan BKSDA, duduk bersama menuntaskan upaya yang telah dimulai dalam mencari solusi itu.


Perlu juga berkoordinasi dengan kementerian, agar pihak terkait tidak cemas dengan ancaman pidana dan persoalan di Sitinjau Lauik bisa tuntas.

Kondisi jalur Sitinjau Lauik saat ini, menurut Mahyeldi, sudah darurat dan statusnya adalah bencana longsor. Terkait dengan hutan lindung, mestinya ada diskresi untuk itu.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022