"Saya belum melihat sebuah desain besar dari OJK bagaimana dengan LAR dan NPL yang mempunyai potensi sangat besar ini, apakah mereka dibiarkan stay di perbankan, atau mereka dikeluarkan dari situ," kata Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia harus ada manajemen risiko yang mumpuni agar kredit bermasalah tersebut tidak mengganggu perekonomian. Menurutnya ketiadaan manajemen risiko akan berdampak besar bagi perekonomian ketika ada persoalan.
Baca juga: LPS sebut ketahanan perbankan masih cukup kuat
Baca juga: OJK sebut DPK perbankan tumbuh 12,21 persen pada 2021
Misbakhun menjelaskan tingkat restrukturisasi kredit berada di kisaran 26-30 persen dari total pinjaman yang disalurkan perbankan. "Itu, kan, menunjukkan ada loan at risk begitu tinggi di sana," kata dia.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menilai LAR yang tinggi disebabkan OJK melakukan pengecualian dalam program restrukturisasi. Menurut dia pengecualian itu tidak mengklasifikasikan LAR ke dalam kategori NPL.
"Pengecualian yang seperti ini, kan, memberikan loan at risk yang lebih tinggi," tuturnya.
OJK menjalankan program restrukturisasi kredit sejak Maret 2020 untuk menanggulangi dampak COVID-19. Program itu telah diperpanjang dan akan berlaku hingga hingga 31 Maret 2023.
Baca juga: OJK: Kredit perbankan 2021 tumbuh 5,2 persen, NPL cenderung turun
Kemudian per Juli 2022, kata dia debitur yang masuk program itu mencapai 2,94 juta, sedangkan pada Juni 2022 masih di angka 2,99 juta.
"Kredit restru COVID-19 dan jumlah debitur terus bergerak melandai," ujarnya.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022