Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati menekankan pentingnya peningkatan peran keluarga untuk memutus mata rantai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mengingat banyaknya kasus KDRT yang terjadi di Indonesia.
"Selain itu, pelibatan masyarakat mulai dari hulu hingga hilir merupakan langkah strategis untuk mencegah KDRT dan kekerasan lainnya karena kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap HAM. KDRT bukan lagi urusan privat, tapi sudah menjadi urusan negara saat UU PKDRT dituangkan dalam lembaran negara pada 22 September 2004," tutur Ratna dalam keterangan, Jakarta, Rabu.
Untuk itu, pemahaman akan peran dalam keluarga perlu diberikan kepada pasangan sebelum menikah.
Kementerian PPPA terus berkomitmen untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan korban kekerasan yang merupakan salah satu prioritas dalam program kerja pemerintah Indonesia.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kasus kekerasan seksual harus perhatikan HAM
Baca juga: Institusi pendidikan harus punya pedoman cegah kekerasan seksual
Pihaknya pun mengecam keras kasus KDRT di Larantuka, Nusa Tenggara Timur yang mengakibatkan wafatnya korban berinisial ASH (45) pada Minggu (28/8).
"Kami turut berduka cita dan prihatin atas kasus KDRT yang terjadi di Larantuka, terlebih pelaku KRK (40) adalah suami korban. Kami akan mengawal kasus ini dan mendorong agar pelaku mendapatkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya.
Saat ini tersangka KRK telah ditahan di Polsek Solor.
Baca juga: Butuh kolaborasi semua pihak turunkan angka kekerasan perempuan-anak
Baca juga: Menteri PPPA resmikan rumah perlindungan perempuan-anak di Sumba
Pelaku dapat disangkakan pasal 5 huruf (a) jo 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dengan hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp45 juta.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022