Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa gagasan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan dominasi antara eksekutif dan legislatif seperti yang sering diperdebatkan para ahli.
"Tidak pula dimaksudkan sebagai upaya MPR untuk membatasi otoritas pemerintah dalam ruang presidensial. Gagasan ini didasari niat baik, yaitu untuk lebih memberikan jaminan kesinambungan dan keterpaduan pembangunan seluruh penyelenggara negara di pusat maupun daerah," kata Bambang Soesatyo.
Hal itu dikatakannya usai melantik Faisal Amri dari Kelompok DPD menjadi Anggota MPR RI dalam Pergantian Antar-Waktu, di Komplek MPR RI, Jakarta, Senin.
Bamsoet mengatakan, gagasan menghadirkan PPHN agar mampu memberikan gambaran wajah Indonesia dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun ke depan, beserta tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapainya dan untuk semakin meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka.
Dia menjelaskan, alur sejarah kebangsaan tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah dirasakan sejak awal kemerdekaan.
Baca juga: Ketua Fraksi NasDem: MPR RI akan bentuk panitia ad hoc rumuskan PPHN
Baca juga: Wakil Ketua MPR: PPHN hasil Panitia Ad Hoc permudah amendemen UUD 1945
Menurut dia, pada tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menetapkan Ketetapan MPRS Nomor: I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara.
"Ketetapan tersebut menjadi pedoman dalam menyusun cetak biru pembangunan, yang selanjutnya ditetapkan oleh MPRS dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama 1961-1969," ujarnya.
Bamsoet mengatakan, pada masa persidangan yang sama, MPRS juga menetapkan Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Karena itu dia mengaku heran kalau hari ini masih ada yang ragu terhadap kehadiran PPHN.
Dia menjelaskan, kebutuhan GBHN terus berlanjut pada era pemerintahan Presiden Soeharto yaitu pada tahun 1973-1998, MPR menetapkan enam Ketetapan MPR tentang GBHN.
"Dalam ketetapan-ketetapan tersebut menjadi tugas MPR menetapkan GBHN sebagai Pola Umum Pembangunan Nasional yang merupakan rangkaian kontinuitas program-program Pembangunan di segala bidang untuk dapat mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945," tuturnya.
Bamsoet mengatakan, GBHN tetap dibutuhkan pada awal reformasi, dan MPR menetapkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.
Baca juga: Arsul Sani sebut pidato Ketua MPR soal PPHN hasil rapat gabungan
Menurut dia, eksistensi GBHN hilang sejalan dengan dipilihnya presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, dan para perumus perubahan UUD tidak memperhitungkan akibat dari keputusan politik yang diambilnya pada saat itu.
"Salah satu akibat dari model perencanaan pembangunan yang berlaku saat ini adalah pembangunan menjadi sangat bersifat executive centris. Padahal, UUD NRI 1945 secara nyata menyebutkan terdapat lembaga-lembaga negara lainnya yang mewakili cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif, yang juga memerlukan haluan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya," ujarnya.
Menurut dia, akibatnya, cabang-cabang kekuasaan dalam negara seperti tidak terhubung antara satu dengan yang lain, dan terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022