Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) melonggarkan aturan perbankan guna mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus juga memperkuat daya tahan sistem perbankan, kata Deputi Gubernur BI, Muliaman D. Hadad

"Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat ketahan bank dalam mendukung kestabilan sistem ekonomi sekaligus menjadi stmulus pertumbuhan perekonomian," katanya di Jakarta, Jumat.

Untuk mendorong perekonomian, ia mengatakan, pihaknya telah membuat langkah-langkah guna meningkatkan kapasitas bagi perbankan dalam menyalurkan kredit ke usaha mikro, kecil dan menengah.

Diantaranya, menurut dia, BI menerbitkan ketentuan pelonggaran aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR) untuk penyaluran kredit UMKM oleh perbankan.

BI mengambil langkah menurunkan bobot resiko kredit UMKM yang dijamin lembaga penjaminan atau asuransi kredit berstatus BUMN dari 50 persen menjadi 20 persen sepanjang memenuhi persyaratan tertentu.

Sementara itu, ia mengemukakan, kredit UMKM yang dijamin lembaga penjaminan atau asuransi kredit berstatus bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebelumnya diberi bobot risiko 85 persen diturunkan sesuai dengan peringkat lembaga penjaminan.

Untuk lembaga penjaminan atau asuransi yang memiliki peringkat AAA sampai dengan AA- bobot resiko sebesar 20 persen. Untuk A+ sampai dengan BBB- diberi bobot resiko 50 persen dan untuk BB+ sampai dengan B- diberi bobot risiko 75 persen.

Menurut pihak BI, pelonggaran ATMR bertujuan untuk meningkatkan peran serta perbankan dalam penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah,

Selain itu, BI mengambil kebijakan tersebut untuk meningkatkan efisiensi perbankan dalam melakukan pembiayan guna mendorong pergerakan sektor riil, dan BI akan menyederhanakan penilaian kualitas aktiva produktif terutama untuk UMKM.

BI menaikkan batas maksimum untuk penilaian aktiva produktif yang hanya dengan menggunakan satu pilar yaitu ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga dari Rp500 juta menjadi Rp1 miliar.

Khusus UMKM, BI masih tetap mempertahankan. "Untuk UMKM batas maksimum bahkan ditingkatkan. "Untuk UMKM sampai dengan 20 miliar (penilian dengan satu pilar tersebut) sepanjang sistem pengendalian resiko bank tersebut tergolong kuat dan rasio kecukupan modalnya sesuai ketetentuan dan hasil penilaian CAMELS dengan peringkat keseluruhan (komposit) 3," katanya.

Sementara itu, ia mengemukakan, batas maksimum sampai dengan Rp10 miliar diperoblehkan sepanjan sistem pengendalian resiko tergolong accptable (diterima) dan rasio kecukupan modal sesuai ketentuan dan hasil penilain CAMELS dengan peringkat keseluruhan (komposit) 3.

BI menurunkan kriteria terhadap properti terbengkalai yang harus diberi pencadangan. Properti yang secara efektif untuk aktivitas bisnis bank dengan prosentase 50 persen yang sebelumnya dinilai barang terbengkalai, sekarang tidak menjadi barang terbengkalai.

"Misalnya, bank punya gedung dengan 10 lantai, ternyata yang bermanfaat hanya 5 lantai, dulu lima lantai masuk dalam barang terbengkali, tapi sekarang tidak lagi. Jadi, bank tidak perlu menyisihkan pencadangan," katanya. Dengan demikian, hal itu semakin memperkuat kapasitas likuditas bank yang bisa digunakan untuk menyalurkan kredit.

Selain itu, BI juga memperpanjang jangka waktu pelaksanaan penilaian agunan sebagai pengurang penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang dilakukan penilai independen untuk kredit lebih dari Rp5 miliar diperpanjang dari 12 bulan terakhir menjadi 18 bulan terakhir.

Guna memperluas jangkauan pelayan perbankan, BI juga menyederahanakn beberapa aturan. Misalnya untuk pembukaan kantor kas dan kegiatan pelayanan kas seperti ATM, kini tak perlu ijin lagi, namun cukup dilakukan melalui laporan rencana bisnis bank.

Untuk memperkuat sistem perbankan, BI memperpanjang masa transisi penerapan risiko operasional dalam perhitungan kecukupan modal dalam rangka basel II.

Bila sebelumnya diharapkan dalam bulan Juni 2009, perbankan telah menerapkan perhitungan resiko operasional dalam rasio kecukupan modal sebesar 15 persen, kini akan diberlakukan secara bertahap.

Pada satu Januari 2010 sampai dengan 30 Juni 2010 resiko operasional diperhitungkan lima persen, 30 Juni 2010 sampai dengan 31 Desember 2010 naik menjadi 10 persen, dan mulai 1 Januari 2009 baru diterapkan 15 persen. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009