Jakarta (ANTARA) - Apa dampak memanasnya Bumi bagi para konsumen dan petani gandum? Sebuah studi baru memperkirakan bahwa harga global untuk biji-bijian akan menunjukkan lonjakan yang lebih tajam pada pemanasan suhu 2 derajat Celsius meskipun terdapat sedikit peningkatan produksi.

Baca juga: Indoofod siap kembangkan mie dari sorgum untuk gantikan gandum

Gandum merupakan tanaman biji-bijian utama di dunia, mengandung 20 persen protein dan kalori untuk lebih dari 3,5 miliar penduduk di seluruh dunia.

Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement) bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius. Para ilmuwan percaya bahwa bahkan jika target itu terpenuhi, pemanasan global akan mengubah hasil panen dan harga gandum di tahun-tahun mendatang.

Tidak seperti penelitian sebelumnya mengenai dampak iklim yang berfokus pada hasil panen saja, studi baru tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal One Earth, mendemonstrasikan sebuah sistem model iklim-gandum-ekonomi baru. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk memperkirakan dampak dari kedua kondisi iklim dan peristiwa ekstrem pada hasil panen dan harga gandum, serta rantai permintaan-suplai gandum secara global.

Para peneliti dari 13 lembaga di seluruh dunia mengerjakan penelitian itu, yang mengungkapkan bahwa di bawah pemanasan suhu 2 derajat Celsius, tingginya fertilisasi karbon dioksida akan mengompensasi naiknya tekanan pemanasan, yang menghasilkan peningkatan 1,7 persen dalam hasil panen gandum global.

Meski demikian, hasil panen gandum yang lebih banyak tidak akan menghasilkan harga konsumen yang lebih rendah. Menurut penelitian tersebut, hasil panen gandum cenderung meningkat di lintang tinggi dan menurun di lintang rendah. Hal tersebut akan menyebabkan harga gandum berubah secara tidak merata, yang meningkatkan ketidaksetaraan yang ada.

Baca juga: Pengamat: Presidensi G20 harus bisa tekan risiko krisis pangan

Model tersebut memprediksi bahwa hasil panen akan meningkat di negara dan wilayah berlintang tinggi, seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, dan sebagian besar Eropa utara. Namun, di negara-negara seperti Mesir, India, dan Venezuela, hasil panen gandum cenderung turun di beberapa daerah lebih dari 15 persen.

"Dengan perubahan hasil panen ini, posisi perdagangan tradisional pasar gandum bisa semakin mendalam. Hal ini dapat menyebabkan daerah pengimpor gandum di lintang rendah, seperti Asia Selatan dan Afrika Utara, mengalami lonjakan harga gandum yang lebih sering dan lebih tajam dibandingkan negara-negara pengekspor gandum," sebut Zhang Tianyi, pemimpin penelitian tersebut dari Institut Fisika Atmosfer di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Science/CAS).

Perubahan-perubahan ini secara lebih lanjut menunjukkan bahwa negara-negara yang mengandalkan impor gandum akan membayar lebih untuk tanaman pangan penting di masa depan, dan harga gandum di pasar global akan menjadi lebih tidak stabil serta memperburuk ketidaksetaraan yang ada.

Hal-hal ini juga akan menyebabkan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar bagi petani, mengangkat pendapatan eksportir gandum namun menurunkan pendapatan importir, catat studi itu.

Zhang bersama timnya berharap bahwa prediksi mereka akan mendorong aksi global.

"Membantu meningkatkan swasembada pangan biji-bijian di negara-negara berkembang sangat penting untuk ketahanan pangan global," katanya. "Ini layak untuk didiskusikan antarnegara dalam kebijakan kolaborasi pertanian internasional di masa depan," demikian Xinhua dikutip Rabu.

Baca juga: FAO terima Rp255,9 miliar dari Jepang untuk penyimpanan gandum Ukraina

Baca juga: FAO: Jutaan orang berisiko kekurangan gizi saat harga gandum melonjak

Baca juga: Pemerintah harus antisipasi kelangkaan gandum dengan komoditas lokal

Penerjemah: Xinhua
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022