Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa pembatasan pendidikan sekolah lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 35 huruf D Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan tingkat pendidikan (SLTP) hanya dapat dibenarkan apabila persyaratan pekerjaan memang memerlukan hal tersebut. "Majelis menyatakan pasal 35 huruf d UU RI nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKI bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimmly Asshidiqie, dalam persidangan yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa. Permohonan pengujian UU nomor 39 tahun 2004 terhadap UUD 1945 itu diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasifik (AJASPAC) dan Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) untuk perkara nomor 019, sementara pemohon dari Yayasan Indonesia Manpower Watch pada perkara nomor 020 dengan permohonan yang sama. Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal 13 ayat (1), pasal 14 ayat (2) huruf b dan d, pasal 18 huruf b, pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), pasal 46, pasal 69 ayat (2), pasal 75 ayat (3), pasal 82, pasal 103 ayat (1) huruf e, pasal 104 ayat (1) pasal 107 ayat (1) dan pasal 35 huruf d UU nomor 39 tahun 2004. Pasal 35 huruf d undang-undang tersebut menyatakan bahwa perekrutan calon TKI oleh pelaksanan penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan .d) berpendidikan sekurang-kurangnya lulus sekolah lanjutan tingkat pertama atau yang sederajat. "Dalam dalil pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan," kata majelis hakim konstitusi. Setelah memperhatikan dan menimbang dalil itu, para hakim konstitusi berpendapat pembatasan tingkat pendidikan di luar persyaratan yang ditentukan oleh pekerjaan sebagaimana tercantum dalam pasal 35 huruf d UU PPTKI justru tidak mempunyai dasar alasan pembenar menurut pasal 28J ayat (2) UUD 1945 guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. "Dengan demikian, pembatasan tingkat pendidikan SLTP yang terdapat dalam pasal UU PPTKI bertentangan dengan hak atas pekerjaan seseorang yang dijamin oleh pasal 27 ayat (2),hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan berdasarkan pasal 28A serta hak untuk hidup sejahtera berdasarkan pasal 28H ayat (1) UUD 1945," kata majelis. Meski mengabulkan sebagian permohonan pemohon perkara 019 untuk pasal 35 huruf d, namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon perkara 020 yaitu Yayasan Indonesia Manpower Watch karena dinilai tidak memiliki "legal standing" sesuai dengan syarat undang-undang tentang Mahkamah Agung. MK juga menolak permohonan pemohon perkara nomor 019 yang meminta pasal 13 ayat (1), pasal 14 ayat (2) huruf b dan d, pasal 18 huruf b, pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), pasal 46, pasal 69 ayat (2), pasal 75 ayat (3), pasal 82, pasal 103 ayat (1) huruf e, pasal 104 ayat (1) pasal 107 ayat (1) UU nomor 39 tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam putusan itu terdapat pendapat berbeda ("dissenting opinion") dari dua hakim konstitusi, yaitu HS Natabaya dan Ahmad Rustandi, yang menyatakan bahwa seharusnya pasal 35 huruf d UU nomor 39 tahun 2004 dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meski demikian dalam putusannya Majelis Hakim Konstitusi memutuskan bahwa pasal 35 huruf d UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sementara untuk pasal-pasal lainnya yang diajukan oleh pemohon perkara nomor 019 ditolak. Dalam persidangan hadir wakil dari pemerintah, yaitu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno dan Dirjen Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Mardjono. Dari pihak pemohon, hadir Ketua Umum Yayasan Indonesia Manpower Watch Soekitjo J.G, Wakil Ketua Dicky R Hidayat dan Sekjen yayasan tersebut Kevin Giovanni Abay, pihak APJATI, AJASPAC dan Himsataki diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Sangap Sidauruk. (*)
Copyright © ANTARA 2006