Dengan inflasi sebesar 7,17 persen akan memperburuk daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai dengan susah payah sebesar 5,4 persenJakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengingat pemerintah tentang keputusan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi bisa memicu lonjakan inflasi dan membuat harga-harga komoditas ikut naik.
"Kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 dan harga Solar menjadi Rp8.500 sudah pasti akan menyulut inflasi. Kontribusi inflasi kenaikan harga Pertalite diperkirakan sebesar 0,93 persen. Sedangkan kenaikan harga Solar diperkirakan sebesar 1,04 persen, sehingga sumbangan inflasi kenaikan Pertalite dan Solar diperkirakan bisa mencapai 1,97 persen," ujarnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Pada Juli 2022 angka inflasi telah menyentuh 5,2 persen secara year on year (yoy), sehingga total inflasi ketika harga BBM bersubsidi naik, menurutnya, mencapai 7,17 persen (yoy).
Fahmy menuturkan angka inflasi itu jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi yang terjadi tahun lalu yang berada pada kisaran 3 persen (yoy).
Baca juga: Sri Mulyani: Subsidi energi melebar Rp198 triliun jika BBM tidak naik
"Dengan inflasi sebesar 7,17 persen akan memperburuk daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai dengan susah payah sebesar 5,4 persen," kata Fahmy.
"Selain itu inflasi sebesar 7,17 persen akan menaikkan harga-harga kebutuhan pokok yang memperberat beban rakyat, terutama rakyat miskin," imbuhnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan rakyat miskin yang tidak pernah menikmati subsidi BBM lantaran tidak punya kendaraan bermotor juga harus berkorban akibat kebaikan harga BBM bersubsidi.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa opsi kebijakan yang akan dipilih terkait subsidi BBM adalah tidak memberatkan beban rakyat miskin.
Baca juga: Keputusan final naikkan harga BBM subsidi ada di Kementerian Keuangan
"Memang beban APBN untuk subsidi energi semakin membengkak hingga mencapai Rp502,4 triliun. Namun perlu diingat bahwa beban subsidi Rp502,4 triliun adalah total anggaran subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM, elpiji tiga kilogram, dan listrik," jelas Fahmy.
Subsidi energi itu diperhitungkan berdasarkan beberapa asumsi mulai dari harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan inflasi. Per 31 Juli 2022 realisasi yang dikeluarkan atau cash out flow untuk subsidi BBM baru mencapai Rp88,7 triliun dan subsidi elpiji tiga kilogram hanya Rp62,7 triliun.
Menurut Fahmy, beban keuangan yang sebesar itu hanya disikapi enteng oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan menambah kuota Pertalite sebesar 5 juta kiloliter.
Selain pengeluaran riil subsidi BBM atau cash out flow, lanjut Fahmy, ada juga tambahan pemasukan riil atau cash inflow pasar APBN akibat kenaikan harga komoditas ekspor yang meningkat.
Baca juga: Sri Mulyani minta Pertamina kendalikan BBM subsidi, demi jaga APBN
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022