sagu di Maluku masih sangat-sangat dibutuhkan
Ambon (ANTARA) - Peneliti pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan masih sangat optimis dengan potensi ketahanan sagu di Maluku.

“Saya masih optimis dengan sagu yang ada di Maluku karena dilihat dari fungsi-fungsinya sekarang banyak yang menjadi olahan makanan pokok, dan itu masih sangat penting di Maluku,” kata Peneliti di Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan. BRIN, Rein E. Senewe, M.Sc, di Ambon, Senin.

Menurutnya, potensi sagu masih sangat tinggi di Maluku, karena mulai dari Pulau Seram hingga ke Kota Ambon, masyarakat selalu memanfaatkan sagu menjadi banyak olahan.

“Sagu di Maluku masih sangat-sangat dibutuhkan. Kita lihat di mana-mana ada jual sagu kering, ada rumah makan papeda, dan masih banyak lagi. Jadi memang sagu masih sangat potensial. Tinggal bagaimana mengemas lagi untuk dukungan pemerintah daerah,” ujarnya.

Baca juga: Ini lima bahan dasar mi inovasi lokal dari peneliti IPB
Baca juga: Bulog miliki rencana bangun pabrik sagu sebagai pengganti gandum

Ia mengungkapkan, sagu sangat perlu dipertahankan, karena tercatat, 10 tahun terakhir, potensi sagu mulai menurun dari sisi luasan lahan.

“Tercatat di Maluku dalam angka badan pusat statistik bahwa memang tadinya di atas 10 tahun lalu itu 60 ribu hektare, sekarang terjadi penurunan bahkan sekarang statistik di BPS 2022 sudah sekitar 30an ribu hektare. Berarti terjadi penurunan dari sisi luas lahan,” ungkapnya.

Ia menyebutkan, penyebab dari penurunan luasan lahan karena fungsi lahan sagu yang dialihfungsikan, seperti perluasan areal tanaman padi, pembangunan rumah serta gedung-gedung perkantoran.

“Contoh kongkretnya yang terjadi di Kabupaten Seram Bagian Barat, Kota Piru, dari situ memang betul-betul sagu dibabat habis untuk dijadikan bangunan perkantoran,” ujar Rein.

Baca juga: Resep camilan sagu dan edamame untuk bekerja di rumah
Baca juga: Kementan: Diversifikasi harus dilakukan antisipasi krisis pangan

Oleh karena itu, lanjut Rein, untuk mempertahankan sagu ini tetap terjaga di Maluku, perlu ada pengembangan dari sisi perluasan lahan areal, dengan cara menanam kembali pada habitat sagu yang sebenarnya.

“Sagu kan habitatnya di lahan-lahan yang berair, becek ya. Kemudian kenapa saya bilang di pinggir sungai, karena memang daerah sungai yang bagus. Karena dia akan berkembang dengan baik di situ. Selain itu dengan adanya sagu di dekat aliran air, ia akan membersihkan air yang ada pada sungai itu,” terang Rein.

Ia juga mengaku bersyukur sudah beberapa kali ada kegiatan-kegiatan terkait rekor MURI yang mengangkat soal sagu hingga olahannya.

“Tapi jangan sampai di situ. Jadi cuma sekadar kegiatan, ajang-ajang seperti begitu, tapi harus melihat pengembangan sagu. Bagaimana mempertahankannya,” imbuh Rein.

Baca juga: Pengamat: Selera hambat singkong dan sagu jadi pengganti gandum
Baca juga: Indef: Singkong dan sagu belum mudah jadi alternatif gandum

Karena itu, Rein berharap, ke depan, masyarakat Maluku melakukan perluasan lahan dengan mulai menanam sagu di areal sungai atau pun tempat lain yang berair.

“Sagu ini kan tidak sama dengan tanaman perkebunan yang lain. Coba dilihat tanaman perkebunan yang lain perlu ada pembibitan, ditanam dirawat. Kemudian kalau dia habis masa tumbuh tidak berbuah lagi lalu ditebang. Sagu kan tidak ada, sekali tanam aja, nanti dia cari jalan. Karena sagu istilahnya rumpun. Jadi kalau sudah tumbuh satu, dia akan muncul lagi rumpun-rumpun yang lain,” jelasnya.

Menurut Rein, apabila sagu ini hilang atau punah dari Maluku, maka Maluku juga akan kehilangan identitas, sosial dan budayanya.

“Karena sagu itu identik dengan orang Maluku yang punya istilahnya keliatan dari luar keras, tapi isinya lembut,"ucap Rein.

Baca juga: Kementan dukung Unhas jadi pusat pengembangan sagu
Baca juga: Pangan lokal disiapkan jadi menu utama Kongres AMAN di Jayapura-Papua

 

Pewarta: Winda Herman
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022