Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo menilai kehadiran Bandara Internasional di Bali Utara tetap menjadi kebutuhan nasional, meski sudah dicoret dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

"Bukan berarti proyek tersebut tidak dikerjakan, tapi pace-nya akan berbeda. Karena banyak masalah yang menyebabkan butuh effort lebih besar sehingga pada 2024 (diprediksi) tidak terselesaikan," kata Wahyu di Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan proyek bandara baru di Bali utara ini sudah masuk dalam Rencana Rencana Induk Bandar Udara yang sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan RI No 166/2019 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.

Salah satu alasannya, Bandara Internasional Ngurah Rai di Denpasar saat ini hanya memiliki satu landasan pacu dan tidak bisa berkembang lagi karena persoalan lahan, sehingga apabila terjadi sesuatu di bandara tersebut, maka akses udara Bali juga praktis tertutup.

Padahal, Bali merupakan destinasi wisata serta tempat penyelenggaraan MICE, termasuk konferensi tingkat tinggi, yang apabila mengalami bandara terkendala seperti karena abu vulkanis Gunung Agung di 2017 dan 2018, maka harus dilakukan penutupan penerbangan reguler untuk sementara.

Selain itu, kapasitas Bandara yang terletak di selatan Bali ini hanya dapat menampung 24 juta penumpang per tahun, dengan maksimum pengembangan hanya sampai 32 juta penumpang per tahun, sehingga layanan pada 2026 diperkirakan mencapai puncaknya.

Sebelumnya, Pemrakarsa Bandara Bali Utara, PT BIBU Panji Sakti, mengungkapkan keuntungan pembangunan bandara internasional baru di Bali Utara yang di antaranya tidak membutuhkan lahan yang luas.

Direktur Utama PT BIBU Erwanto Sad Adiatmoko menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan studi di delapan tempat berbeda di Pulau Bali untuk mencari tempat yang ideal dibangun bandara.

"Hasil studi lokasi dengan skor terbaik adalah di pesisir pantai (off shore) Kubutambahan, Buleleng. Artinya kawasan itu ideal sebagai tempat dibangunnya bandar udara bertaraf internasional dari berbagai aspek sosial, ekonomi, teknis, dan lingkungan hidup," kata Erwanto.

Erwanto menjelaskan, pembangunan Bandara Internasional Bali Utara yang digagas oleh PT BIBU tidak melakukan pembebasan lahan karena bandara akan dibangun di pesisir Pantai Kubutambahan.

Menurut dia, pembangunan bandara di pantai itu tidak akan mengorbankan lahan produktif, tidak mengambil lahan pemukiman masyarakat, tidak menggusur tempat ibadah, dan juga tidak mengorbankan situs bersejarah yang ada di Kabupaten Buleleng.

Ia menjelaskan, usulan PT BIBU sudah sesuai dengan Peraturan Menhub/PM No. 20/2014 dan PM No. 64/2018 Tentang Tata Cara dan Prosedur Penetapan Lokasi Bandar Udara, sehingga diprediksi tidak akan menimbulkan gejolak sosial karena tidak ada masalah dalam pembebasan tanah.

Di samping itu, hasil kajian dari aspek lingkungan hidup menunjukkan bahwa di daerah pesisir Desa Kubutambahan praktis tidak mempunyai terumbu karang tempat ikan berkumpul dan sebagai tempat makan ikan dan hewan laut lainnya, sehingga relatif tidak ada nelayan yang melaut di kawasan perairan di depan pantai Desa Kubutambahan.

Erwanto mengungkapkan bahwa rencana pembangunan bandara di Kubutambahan, Bali Utara akan dikerjakan oleh China Construction First Group Corp. Ltd (CCFG) yang merupakan anak perusahaan salah satu BUMN yang terbesar di Negeri Tirai Bambu, China State Construction Engineering Corp. Ltd (CSCEC).

"Bandara yang kami rancang bukan hanya bandara yang berfungsi sebagai bandara destinasi wisata, tetapi juga sebagai bandara yang menjadi hub antara Asia Pasifik dan menjadi bandara untuk memenuhi kebutuhan kargo yang terus meningkat," katanya.

Baca juga: PT BIBU ungkap keuntungan lokasi bandara baru di Bali Utara
Baca juga: Wagub Bali: Sumberklampok Buleleng jadi lokasi Bandara Bali Utara
Baca juga: Tokoh masyarakat harap pemerintah segera bangun Bandara Bali Utara

 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022