Namun yang terpenting, umat manusia seharusnya memetik pelajaran dari Nagasaki dan Hiroshima.

Jakarta (ANTARA) - Ketika Robert Oppenheimer bertemu dengan Presiden Harry Truman tak lama setelah Jepang menyerah menyusul bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima yang mengakhiri Perang Dunia Kedua, sang ilmuwan mengungkapkan sesal menggunung yang mungkin dibawa hingga akhir hayatnya.

Oppenheimer adalah ahli fisika Amerika Serikat yang sering disebut "bapak bom atom" setelah mengetuai Proyek Manhattan yang membuat bom nuklir pertama di dunia.

Oppenheimer menyesal telah membuat bom atom yang membunuh ribuan anak dan wanita dari total 226 ribu korban tewas akibat dua bom atom.

Truman menghibur Oppenheimer agar tidak menyesali peristiwa itu, sebaliknya menyatakan sebagai presiden AS yang memerintahkan bom atom dijatuhkan di Jepang, dialah yang memikul semua tanggung jawab.

Tak hanya Oppenheimer, banyak juga ilmuwan, tokoh politik dan militer yang mengungkapkan penyesalannya, termasuk Paul Tibbets yang menerbangkan bomber B-29 Superfortress bernama Enola Gay yang menjatuhkan bom atom "Little Boy" di Hiroshima pada 6 Agustus 1945.

"Anda harus tahu bom ini bukan senjata militer. Bom ini telah digunakan untuk memusnahkan wanita dan anak-anak serta orang-orang tidak bersenjata," kata Tibbets.

Bagaimana dengan Truman? Apakah menyesal? Sampai presiden ke-33 Amerika itu wafat pada 1972, tak ada satu pun catatan yang menyebutkan Truman menyesal telah memerintahkan bom atom dijatuhkan.

Tapi ada sebuah momen yang menunjukkan Truman mungkin di lubuk hatinya menyesal, yakni ketika Dewan Kota Hiroshima mengirimkan surat protes atas pernyataan Truman bahwa dia "sama sekali tidak menyesal" telah memerintahkan penggunaan bom atom.

Truman merespons adalah ulah Jepang yang menjerumuskan AS ke dalam Perang Dunia Kedua yang akhirnya memaksa AS menggunakan bom atom demi mengakhiri perang agar umat manusia terselamatkan.

Dewan Kota Hiroshima balik merespons bahwa mereka juga tak membenarkan kejahatan Jepang menyerang Pearl Harbor pada 1941 yang membuat AS menerjunkan diri dalam Perang Dunia Kedua.

Tetapi mereka bertanya apakah Truman merasa membantai 200.00 warga sipil, khususnya wanita dan anak-anak, sebagai tindakan manusiawi? Truman tak pernah menjawab pertanyaan ini.

Terlepas itu, apa yang dilakukan Jepang dan Jerman selama Perang Dunia Kedua memang membuat siapa pun musuhnya menjadi memiliki alasan untuk menghancurkan mereka.


Baca juga: Profesor Jepang berupaya hilangkan "mitos" bom atom Amerika


Selanjutnya: 5 miliar mati

5 miliar mati

Namun jika kini sejumlah pemimpin Rusia menyatakan tidak mengesampingkan serangan nuklir ketika tak ada seorang pun di Ukraina melakukan kebiadaban seperti dilakukan Nazi Jerman dan fasisme Jepang semasa Perang Dunia Kedua, maka pernyataan itu sangat berlebihan.

Dalam konteks perang Ukraina itu sendiri tak ada sejengkal wilayah negara lain yang dianeksasi Ukraina seperti dilakukan Jerman dan Jepang pada Perang Dunia. Pun tidak ada pembasmian etnis seperti terjadi pada Perang Dunia Kedua.

Namun yang terpenting, umat manusia seharusnya memetik pelajaran dari Nagasaki dan Hiroshima.

226 ribu manusia yang kebanyakan tak berdosa termasuk anak-anak dan wanita, tewas seketika oleh hanya dua buah bom atom, sementara radiasinya menyengsarakan mereka yang selamat selama hidupnya, mulai dari terserang kanker, melahirkan anak-anak yang lahir cacat sejak dalam kandungan, sampai mengalami kelainan otak.

Dan itu baru dari dua bom atom.

"Little Boy", nama bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 9 Agustus 1945, melepaskan energi 15 kiloton yang setara dengan 15 ribu ton TNT.

Ketika bom ini dijatuhkan, tercipta efek ledakan serupa awan raksasa sebentuk jamur yang kemudian disebut "awan jamur" setinggi 7,6 kilometer, sedangkan "Fat Man" yang dijatuhkan di Nagasaki pada 6 Agustus 1945, memiliki kekuatan ledakan 21 kiloton.

Ternyata kedua bom atom itu kalah dahsyat dibandingkan dengan bom-bom nuklir saat ini.

B83 misalnya, bom nuklir milik AS ini bisa melepaskan energi setara 1,2 juta ton TNT atau 80 kali lebih kuat dari "Little Boy".

Uni Soviet yang arsenal nuklirnya diwariskan kepada Rusia, memiliki bom nuklir Tsar Bomba yang bisa melepaskan energi sebesar 50 megaton atau 3.300 kali lebih dahsyat dari "Little Boy".

Jika Tsar Bomba diledakkan, akan tercipta "awan jamur" setinggi 39 km atau empat kali tinggi puncak gunung tertinggi dunia, Mount Everest. Jika misalnya Tsar Bomba meledak di Jakarta, maka "awan jamur"-nya akan terlihat sampai Semarang.

Wajar jika Badan Perlucutan Senjata PBB (UNODA) menyatakan sebuah bom nuklir bisa memusnahkan seketika sebuah kota besar dan menewaskan jutaan manusia penghuninya, selain merusak lingkungan serta kehidupan generasi mendatang.

Penelitian terbaru yang dibuat para ilmuwan berbagai lembaga ilmiah dan perguruan tinggi lintas benua yang diterbitkan jurnal Nature pada 15 Agustus 2022 menguatkan pandangan UNODA.

Para ilmuwan itu menyimpulkan, jika India dan Pakistan yang sama-sama memiliki senjata nuklir, terlibat dalam perang nuklir, maka bakal menewaskan 2 miliar manusia. Sedangkan jika AS dan Rusia berkonfrontasi nuklir, maka korban mati mencapai 5 miliar jiwa atau lebih dari 2/3 penduduk Bumi.

Selain itu, jelaga atmosfer akibat ledakan senjata nuklir akan merusak iklim Bumi yang di antaranya siklus panen global sehingga menciptakan krisis pangan yang jauh lebih hebat dari saat ini.


Baca juga: Peringati Hiroshima, Indonesia berkomitmen untuk perdamaian dunia
Baca juga: Paus di Nagasaki desak penghapusan senjata nuklir


Selanjutnya: Senjata nuklir snti kehidupan
Anti kehidupan

Ada dua jenis senjata nuklir, yakni senjata nuklir strategis dan senjata nuklir taktis. Yang terakhir memiliki efek ledakan lebih kecil dan menyasar target-target militer secara spesifik.

Namun, siapa yang bisa menjamin serangan nuklir taktis tidak mendorong pemilik senjata nuklir lainnya balas merespons? Siapa yang menjamin kontak senjata nuklir taktis tidak meluas menjadi konfrontasi nuklir strategis yang jauh lebih mengerikan?

Doktrin perang nuklir sendiri menyebutkan sebuah serangan nuklir hanya akan mengundang serangan nuklir lainnya.

Mereka yang lebih dulu menembakkan senjata nuklir akan sama hancurnya dengan mereka yang membalasnya. Intinya, tak ada yang menang dalam perang nuklir.

Kemampuan membalas serangan nuklir di antara negara-negara pemilik nuklir juga tak kalah maut dari serangan nuklir pertama, apalagi senjata nuklir bisa diluncurkan dari wahana-wahana mobilitas tinggi yang sulit dideteksi lawan

Bukan hanya dari peluncur rudal mobilitas tinggi seperti HIMARS yang saat ini digunakan dalam perang di Ukraina. Tetapi juga dari bomber jarak jauh yang di antaranya berteknologi siluman sehingga sulit dideteksi radar.

Belum kapal selam pembawa senjata nuklir yang sama sulitnya untuk dijejak keberadaannya.

Saat ini Rusia memiliki 8 unit kapal selam jenis ini, Amerika Serikat memiliki 14 unit. Prancis, Inggris dan China masing-masing memiliki antara 4 sampai 6 unit.

Sebagai gambaran potensi mengenai betapa dahsyatnya efek yang dibawa sebuah kapal selam pembawa senjata nuklir bisa dilihat dari USS Maine, salah satu dari 14 kapal selam kelas Ohio milik Angkatan Laut AS.

Kapal selam ini membawa 20 unit peluru kendali antarbenua Trident 2 yang memiliki jangkauan 6.400 km. Setiap rudal Trident 2 dimuati dengan 12 hulu ledak nuklir, sedangkan sebuah hulu ledak nuklir memiliki kekuatan 100-475 kiloton atau 6-31 kali kekuatan bom atom di Nagasaki.

Jika minimal setiap hulu ledak rudal Trident 2 berkekuatan 100 kiloton, maka USS Maine total memuat potensi ledakan nuklir minimal 12 mega ton. Ini 800 kali lebih kuat dari bom atom di Nagasaki.

Dan itu baru dari sebuah kapal selam, belum 13 kapal selam pembawa nuklir AS lainnya. Juga belum termasuk yang dipunyai Rusia, China, Prancis dan Inggris.

Masih ada peluncur-peluncur rudal statis di darat atau silo yang amat terlindung dan diselimuti rahasia.

Dengan potensi kehancuran yang begitu mengerikan ini, siapa pun yang mengancam perang nuklir dan mereka yang menyambut gembira ancaman ini, patut dipertanyakan akal sehatnya.

Mengancam perang nuklir pada masa di mana tak ada pemimpin haus darah seperti Adolf Hitler dan fasisme Jepang selama Perang Dunia Kedua, adalah sungguh anti kehidupan.


Baca juga: Dubes: Indonesia serukan dunia bebas senjata nuklir
Baca juga: Hiroshima berdoa demi perdamaian pada peringatan penjatuhan bom atom

Copyright © ANTARA 2022