mendorong brand lokal agar bisa bersaing
Jakarta (ANTARA) - Sudah 77 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan dan membangun berbagai perubahan besar di segala sektor industri, tak terkecuali fesyen nusantara.
Dalam 10 tahun terakhir, nama Indonesia di kancah fesyen internasional mulai diperhitungkan, khususnya untuk busana muslim atau modest. Bahkan Indonesia telah menargetkan diri untuk menjadi pusat busana muslim dunia.
Beberapa desainer pakaian dan aksesoris yang namanya sudah dikenal dunia di antaranya adalah Tex Saverio, Dian Pelangi, Rinaldy Yunardi, Didiet Hadiprasetyo, Peggy Hartanto hingga Nancy Go. Karya para perancang tersebut bahkan pernah dipakai oleh artis Hollywood.
Akan tetapi, di tengah mulai harumnya nama Indonesia di dunia internasional, industri fesyen nusantara masih harus berjuang melawan “penjajah” yang berasal dari produk impor busana luar negeri apalagi saat ini sedang marak istilah thrifting atau baju-baju bekas.
Baca juga: Wamenparekraf bangga kenakan busana jenama lokal di MotoGP Mandalika
Baca juga: Snugg gaungkan pemberdayaan perempuan lewat koleksi "The Essentials"
Ketua Nasional Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma mengatakan penjajah yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha fesyen dan masyarakat saat ini adalah gempuran produk luar negeri yang menguasai pasar kelas bawah hingga menengah atas.
Untuk pasar kelas bawah, masyarakat tengah gandrung dengan pembelian pakaian bekas dari luar negeri yang berkedok sustainable atau berkelanjutan. Nyatanya, produk tersebut justru didatangkan dari pasar luar dan bukan pakaian yang berasal dari Indonesia.
Kesadaran untuk menerapkan konsep busana berkelanjutan memang bagus, namun semua akan percuma jika produk yang diincar justru dari luar negeri. Belum lagi kebanyakan produknya merupakan barang ilegal.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag) dan Bea Cukai melakukan pemusnahan terhadap baju bekas impor ilegal di kawasan Pergudangan Grasia, Karawang, Jawa Barat, Jumat (12/8). Menurut Mendag Zulkifli Hasan, dari hasil pengawasan selama Juni sampai Agustus 2022 jumlah impor baju bekas memiliki nilai mencapai Rp9 miliar.
"Orang mau bergaya thrifting tapi malah impor dari luar. Harusnya mereka mengambil barang dari Indonesia agar tidak terlalu menyampah di Indonesia. Menurut aku, cuma jadi kayak green washing, tidak benar-benar menyelesaikan masalah yang ada di dalam negeri bukan semakin banyak yang beli, impornya malah semakin gede," ujar Ali saat dihubungi ANTARA pada Rabu.
Tak hanya baju bekas, serbuan pakaian impor semakin merajalela dengan kehadiran fast fashion, di mana industri fesyen bergerak sangat cepat dengan koleksi baru hadir setiap minggu dan dijual dengan harga murah. Beberapa merek fast fashion yang berada di pasar kelas menengah antara lain H&M, Uniqlo, Zara, Topshop, Pull&Bear, Berskha, Forever 21 dan lainnya.
Merek busana lokal pun harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang mampu menghasilkan jutaan pakaian sekali berproduksi. Ini berbanding terbalik dengan produk dalam negeri khususnya UMKM yang hanya mampu menghasilkan ratusan pakaian saja.
Dari sisi pemasaran, pusat perbelanjaan juga dikuasai oleh merek luar. Lantai utama pusat perbelanjaan biasanya hanya diisi oleh merek mewah dari luar negeri. Kehadiran Mal Sarinah sebagai pusat retail lokal pun dianggap sebagai salah satu angin segar.
"Semua menguasai pasar menengah di Indonesia. Pasar kelas atas, lihat aja di mal, di lantai satu kelas atas. Berapa banyak brand lokal yang bisa tembus itu, paling Bian dan beberapa brand kecuali di Sarinah. Itu perubahan yang sudah sangat bagus banget," kata Ali.
Untuk memerdekakan diri dari penjajah fesyen, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun para pelaku industri. Salah satu cara pertama adalah berkolaborasi. Tak harus membenci produk luar negeri, merek lokal dan internasional bisa saling bekerja sama untuk mendapatkan keuntungan.
Ada beberapa merek lokal yang sudah berkolaborasi dengan luar negeri seperti sepatu Compass dengan Fxxking Rabbits asal Jepang, H&M dengan ilustrator Liunic yang merupakan pemilik merek Liunic on Things serta W.ESSENTIELS dengan TIMEX.
Tak hanya berkolaborasi, dari pemerintah juga perlu membuat regulasi yang dapat menguntungkan merek lokal atau mungkin keduanya sehingga mampu bersaing bisnis secara head to head.
"Kita berusaha dari bawah dan juga pemerintahnya juga harus memberikan regulasi atau imbauan kepada retailer ini untuk mengakomodir brand lokal atau minimum membantulah atau mendorong brand lokal agar bisa bersaing dengan mereka secara bisnis," ujar Ali.
Membuat industri fesyen tanah air maju bukan hanya tugas pemerintah dan pelaku usaha saja, namun diperlukan campur tangan masyarakat umum atau konsumen.
Ketertarikan masyarakat Indonesia membeli produk luar negeri baik yang baru atau bekas lantaran, merek lokal belum dapat mengakomodir keinginan pasar. Misalnya saja, dari sisi model, materi yang digunakan, harga hingga kualitas.
Konsumen cenderung beralih pada merek internasional, karena dapat dengan mudah menemukan apa yang dibutuhkan. Sangat perlu untuk melakukan riset atau survei pasar kepada para konsumen.
Pelaku usaha juga harus melakukan berbagai upaya, bahkan bersama-sama dengan konsumen menciptakan tren hingga produk-produk fesyen lokal lebih banyak di pasaran atau digandrungi.
Industri fesyen lokal akan berkembang dan masuk pada jenjang berikutnya jika bisnisnya berjalan dengan bagus. Maju tidaknya fesyen juga dipengaruhi oleh keinginan konsumen dalam membeli produk lokal.
Setidaknya mulai sekarang, proporsi produk lokal dan luar di lemari pakaian harus seimbang. Kesadaran ini, sangat penting penting untuk memerdekakan industri fesyen lokal.
Baca juga: Omzet Kattoen meroket 50 persen berkat digitalisasi UMKM
Baca juga: Intip variasi koleksi busana lebaran dari jenama lokal
Baca juga: Merek fesyen Indonesia akan tampil di Paris dan Belanda
Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022