Jakarta (ANTARA) - Dinamika politik global dewasa ini menjadi salah satu aspek yang perlu diatensi secara serius oleh pemerintah.
Pencapaian tujuan nasional di berbagai bidang sebagaimana termaktub dalam preambul UUD NRI 1945 tidak terlepas dari lingkungan strategis regional dan global yang mempengaruhi.
Tidak dimungkiri bahwa meskipun sistem internasional bersifat multipolar, kecenderungan negara- negara besar seperti Amerika Serikat, kelompok Uni Eropa, Rusia, dan Tiongkok yang menjalankan perang proksi dan perebutan pengaruh di berbagai kawasan dunia akan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Oleh sebab itu, prinsip politik luar negeri bebas aktif yang menjadi pedoman Indonesia di kancah politik global harus dipertajam menjadi strategi geopolitik yang bersifat taktis dan komprehensif bagi pemenuhan kepentingan nasional.
Rivalitas AS dan Tiongkok
Salah satu dinamika politik global yang paling mencolok saat ini adalah pertarungan kekuasaan dan perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Indo Pasifik. Rivalitas keduanya berada pada sedikitnya empat dimensi, yakni teknologi, investasi, infrastruktur, dan keamanan.
Sebagai kekuatan baru dunia (emerging force), Tiongkok menjalankan kebijakan Belt Road Initiative di Asia Pasifik dan menjual konsep ekonomi Tiongkok di forum United Nations General Assembly yang menyasar negara-negara berpenghasilan rendah di kawasan.
Kebijakan ini diharapkan dapat menggerus pengaruh Amerika Serikat melalui kebijakannya yang disebut sebagai Global Development Initiative yang dianggap gagal dalam membangun negara-negara berkembang di kawasan.
Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemoni eksisting di kawasan tentu tidak tinggal diam melihat agresivitas Tiongkok. Guna menandingi Belt Road Initiative Tiongkok, Amerika Serikat mencanangkan kebijakan Blue Dot Network pada 2019, disusul dengan kebijakan Build Back Better World pada 2021.
Baca juga: Hasto: Geopolitik Soekarno bangun kepemimpinan Indonesia untuk dunia
Baca juga: Wamenlu sebut krisis di Ukraina akan pengaruhi ekspor-impor Indonesia
Melalui dua kebijakan tersebut, Amerika Serikat menjanjikan kepada negara-negara di kawasan Indo Pasifik untuk memberikan investasi secara langsung dalam rangka mewujudkan kemakmuran yang berbasis luas.
Amerika Serikat juga berjanji untuk mewujudkan kawasan Indo Pasifik yang tangguh di bawah kepemimpinan-nya, terutama dalam memulihkan perekonomian pascapandemi COVID-19 yang melanda negara-negara kawasan.
Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Indo Pasifik ini pada dasarnya menimbulkan banyak ekses. Kecenderungan yang terjadi adalah munculnya perang proksi di antara kedua negara yang membagi negara-negara kawasan ke dalam kelompok-kelompok dan aliansi-aliansi tertentu.
Muncul blok AUKUS sebagai bentuk kerja sama antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Muncul blok QUAD sebagai bentuk kerja sama empat negara antara Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan India.
Tiongkok juga tidak mau ketinggalan. Bersama dengan sekutu ideologis-nya, yakni Rusia, Tiongkok membentuk kelompok SCO yang merangkul negara-negara Asia Tengah seperti Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan, termasuk juga India di dalamnya.
Yang menarik dari kerja sama tersebut, keanggotaan masing-masing negara tidak hitam putih. Sebagai contoh, India ada dalam forum QUAD yang dimotori Amerika Serikat, tapi juga ada di forum SCO yang dimotori Tiongkok dan Rusia. Sangat jelas tergambar bahwa dalam belenggu rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok, negara-negara kawasan tetap berpegang pada kepentingan nasionalnya sebagai haluan utama.
Perang Rusia dan Ukraina
Selain rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di Indo Pasifik, dinamika politik global lainnya yang cukup mencolok dan patut dicermati adalah perang fisik antara Rusia dan Ukraina. Perang di antara kedua negara meletus pada Februari lalu yang menjadi puncak konflik di antara kedua negara sejak 2014.
Adapun motif yang diusung oleh Rusia terkait invasi ke Ukraina adalah menolak keanggotaan Ukraina ke dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dapat mengancam keamanan nasional Rusia, serta tuduhan bahwa Ukraina saat ini dikuasai oleh kelompok neo-Nazisme yang anti-terhadap Rusia.
Baca juga: Aliansi Indonesia-Arab Saudi: Poros Baru Geopolitik Dunia
Baca juga: Dino Djalal: Indonesia harus perkuat strategi geopolitik dan globalisasi
Perang di antara kedua negara yang masih berlangsung saat ini menimbulkan banyak implikasi. Invasi Rusia ke Ukraina berdampak pada perpindahan sepertiga penduduk Ukraina untuk menghindari dampak perang, jutaan penduduk Ukraina meninggalkan negaranya, serta kerusakan materiil yang luar biasa di Ukraina.
Selain itu, dampak skala global yang muncul dari perang ini adalah krisis energi global dalam hal mana harga minyak bumi dan gas alam menjadi sangat fluktuatif dan tidak stabil. Rusia yang menjadi pemasok energi utama di Eropa suka tidak suka terpaksa memainkan politik energi sebagai respons atas sanksi keras yang mereka terima dari negara-negara Eropa.
Strategi Indonesia
Situasi politik global yang bergejolak saat ini pada dasarnya bukanlah sebuah kondisi yang terpisah dari lingkungan strategis nasional Indonesia, melainkan saling terkait dan berpengaruh satu sama lain.
Ada banyak kepentingan nasional Indonesia, baik yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang yang terpengaruh dan dipengaruhi oleh dinamika-dinamika tersebut.
Sebagai contoh, strategi pemulihan ekonomi nasional Indonesia sangat tergantung dari besaran investasi asing yang masuk untuk menggerakkan perekonomian nasional. Jika situasi politik global tidak stabil, maka probabilitas masuknya investasi asing ke dalam negeri akan mengecil.
Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok melalui perang pengaruhnya, tentunya akan menguji komitmen Indonesia untuk menjalankan prinsip politik luar negeri bebas aktif dan pengarusutamaan ASEAN dalam menghadapi dinamika regional Asia Tenggara.
Selain itu, perang Rusia dan Ukraina akan menjadi ujian bagi Indonesia dalam menjalankan presidensi G-20 tahun ini di tengah kerasnya penolakan terhadap Rusia dari negara-negara anggota.
Geopolitik adalah kejelian dan kecermatan sebuah negara dalam memandang situasi dan kondsi geografisnya, menganalisis ancaman sekaligus peluang yang ditimbulkan dari lingkungan geografis tersebut.
Dalam merespons dinamika politik global yang tidak ramah saat ini, Indonesia harus berlaku cermat dan waspada.
Pertama, kepentingan nasional selalu menjadi acuan dalam praktik diplomasi di forum global. Namun demikian, kepentingan nasional ini diupayakan dapat tercapai melalui mekanisme yang kolaboratif dengan negara manapun dan tidak didikte oleh konflik yang ada.
Kedua, berbagai forum strategis yang ada, khususnya presidensi G-20, harus benar-benar dioptimalkan untuk mendukung pembangunan nasional, fisik maupun non-fisik. Hal ini tidak terlepas dari dimensi ekonomi dan keunggulan ekonomi yang dimiliki oleh forum ini.
Ketiga, di tengah menjamurnya berbagai aliansi dan kerja sama regional di kawasan Asia Pasifik, secara geopolitik, Indonesia disarankan tetap mengarusutamakan mekanisme kerja sama ASEAN. Prinsipnya sederhana, kawasan Asia Tenggara yang stabil akan berdampak positif bagi lingkungan dalam negeri Indonesia yang stabil.
Keempat, penguatan pada aspek- aspek yang menjadi keunggulan komparatif Indonesia, seperti penguaasaan energi. Potensi sumber daya energi harus lebih dioptimalkan di tengah kelangkaan energi dan perubahan iklim yang melanda seluruh dunia.
Terakhir, mewujudkan kondusivitas di dalam negeri sebagai modal dasar, khususnya situasi politik dan keamanan yang terkendali dengan mengoptimalkan fungs-fungsi lembaga yang ada.
*) Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Periode 2019-2024
Copyright © ANTARA 2022