Bogor (ANTARA) - Tepat 16 Agustus setahun silam, publik dunia menyaksikan drama kegagalan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan. Pada hari itu, publik dunia melihat bagaimana AS begitu kedodoran dalam melaksanakan misi penarikan pasukannya dari Negeri Para Mullah yang sempat dikuasainya selama 20 tahun itu.
Bahkan, Senin, 16 Agustus 2021, tersebut tercatat sebagai hari paling dramatis setelah pengalaman misi evakuasi mereka saat kejatuhan Saigon ke tangan pasukan Komunis Vietnam pada 30 April 1975.
Pada hari itu, ribuan warga Afghanistan yang cemas dan panik akibat kejatuhan Kota Kabul ke tangan milisi Taliban sehari sebelumnya berbondong-bondong ke Bandar Udara Internasional Hamid Karzai.
Mereka mendatangi bandara yang menabalkan nama mantan Presiden Afghanistan kelahiran 24 Desember 1957 itu untuk satu tujuan: bagaimana segera bisa keluar dari Kabul dengan selamat.
Kepanikan dan kecemasan massal warga Afghanistan yang menyemuti area bandara pada hari itu memuncak tatkala ratusan orang dari mereka nekat merangsek ke tarmak.
Sasaran mereka adalah sebuah pesawat angkut C-17 Globemaster III Angkatan Udara AS yang sedang bersiap bergerak di landasan untuk melakukan take-off.
Kegagalan ikut bersama orang-orang yang sudah berada di dalam pesawat kargo militer buatan unit Sistem Pertahanan Terpadu (IDS) Boeing itu tak membuat mereka yang sudah berada di tarmak itu bubar jalan.
Alih-alih meninggalkan tarmak, mereka malah mengerubungi dan berebutan naik ke bagian badan pesawat tanpa menghiraukan risiko bahaya yang mengancam jiwa mereka. Ada beberapa orang yang "berhasil mendapat tempat" di bagian luar badan pesawat.
Di tengah situasi yang kacau itu, pilot C-17 Globemaster III itu tetap memacu pesawatnya di landasan untuk take-off. Beberapa saat kemudian, pesawat jumbo militer AS itu pun mengangkasa.
Lantas, terjadilah tragedi yang menusuk hati dan nurani kemanusiaan terdalam mereka yang menjadi saksi mata peristiwa di ujung landasan Bandara Kabul maupun yang sekadar menyaksikannya lewat layar televisi dan video proses evakuasi AS yang berlangsung dramatis dan kacau pada 16 Agustus itu.
Dari tayangan video yang beredar luas di internet, setidaknya dua orang yang mengganduli badan pesawat militer Amerika tersebut terjatuh dari ketinggian, dan tewas.
Tayangan-tayangan video yang merekam suasana kacau dan dramatis dalam evakuasi penarikan tentara AS dari Bandara Kabul itu tidak sulit ditemukan di internet walau peristiwa yang mendapat perhatian luas media dunia ini telah lama berlalu.
Media terkemuka Inggris, The Guardian, ikut menayangkan video peristiwa tersebut dalam beritanya berjudul "Chaos at Hamid Karzai International Airport in Kabul – as it happened".
Apa yang terjadi di tarmak Bandara Kabul pada 16 Agustus itu hanyalah satu dari serangkaian drama dan tragedi yang menyertai pelaksanaan evakuasi penarikan pasukan AS dari negeri miskin yang telah lama didera perang tersebut.
Kejadian memilukan lain yang sempat terjadi di tengah upaya evakuasi tentara dan warga negara AS serta warga Afghanistan dan asing yang pernah bekerja untuk kepentingan AS selama 20 tahun pendudukannya itu adalah serangan mematikan teroris ISIL.
Serangan kelompok ISIL di area Bandara Internasional Hamid Karzai Kabul pada 26 Agustus tersebut menewaskan sedikitnya 13 serdadu Amerika dan 70 warga Afghanistan, termasuk 28 anggota Taliban (Aljazeera, 2021).
Namun, setelah proses evakuasi yang dimulai pada 14 Agustus itu berjalan 16 hari, otoritas Amerika di Afghanistan akhirnya berhasil merampungkan misi mereka.
Pentagon mengumumkan bahwa pihaknya telah sepenuhnya menyelesaikan misi penarikan pasukan AS dari negeri yang, menurut laporan media, menyimpan harta karun sumber daya alam bernilai hingga tiga triliun dolar AS (Rp44,28 kuadriliun) pada 30 Agustus atau sehari lebih cepat dari batas waktu yang telah ditetapkan Presiden AS Joe Biden pada 31 Agustus.
Pengumuman resmi Pentagon itu sekaligus menandai berakhirnya 20 tahun pendudukan AS di Afghanistan yang dimulai tak lama setelah serangan teroris 9/11.
Selama 16 hari pelaksanaan evakuasi penuh drama dan kekacauan itu, Komandan Komando Sentral AS Jenderal Kenneth McKenzie mengatakan pihaknya berhasil mengevakuasi 79 ribu orang dari Kabul, termasuk 6.000 warga negara AS (Aljazeera, 2021).
Begitulah drama kegagalan AS di Afghanistan, negeri Muslim yang dia invasi pada 7 Oktober 2001 untuk menumbangkan rezim Taliban yang ditudingnya telah menyembunyikan para anggota Al Qaida.
Gedung Putih tak belajar dari "kutukan sejarah" kekalahan memalukan komunis Uni Soviet saat menginvasi dan menduduki Negeri Para Mullah itu dari 25 Desember 1979 hingga 2 Februari 1989.
Alih-alih belajar dari pengalaman buruk Soviet di era Perang Dingin itu, AS justru mengulangi lagi petualangan geopolitik Kremlin yang gagal tersebut dengan dalih hendak menumpas Al Qaida dan jaringan terorisme internasional yang dilindungi rezim Taliban.
Kinerja AS yang buruk dalam misi penarikan pasukannya --sekaligus menutup bab pendudukan Washington di Afghanistan-- itu juga menunjukkan kegagalan praktik dan kerapuhan sistem demokrasi Barat.
Betapa tidak, selama 20 tahun berkuasa, rezim-rezim boneka Gedung Putih yang berkuasa di Kabul setelah memenangi pemilu ala demokrasi Amerika itu bahkan tak berhasil menghadirkan kesejahteraan dan perdamaian hakiki di negerinya sendiri.
Amerika pun seperti tak memahami sistem struktur sosial yang ada di Afghanistan padahal saat komunis Soviet menginvasi dan bercokol di negeri itu, mereka sudah berhubungan dengan mujahidin yang berperang melawan pendudukan Kremlin di sana.
Pengalaman tersebut sepertinya tak membuat AS sepenuhnya memahami DNA dan karakteristik rakyat Afghan yang lebih setia pada klan dan pimpinan klannya.
Akhir dari petualangan geopolitik Gedung Putih yang gagal di Afghanistan --negeri Muslim yang berbatasan dengan Pakistan di timur dan selatan, Iran di barat, Turkmenistan dan Uzbekistan di utara, serta Tajikistan dan Tiongkok di timur laut-- layak dijadikan pelajaran berharga oleh bangsa mana pun.
Kita menolak lupa kegagalan Amerika yang memalukan di Afghanistan ini tatkala bangsa Indonesia yang cinta damai dan merupakan sahabat rakyat Afghanistan bersiap merayakan 77 tahun kemerdekaan republik ini pada 17 Agustus 2022.
*Rahmad Nasution adalah jurnalis ANTARA
Pandangan dan pendapat yang tertuang dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan perspektif penulis dan tidak mencerminkan kebijakan atau posisi Kantor Berita ANTARA.
Baca juga: Satu tahun Taliban berkuasa di Afghanistan, tak banyak harapan
Baca juga: Pimpinan Taliban gelar pertemuan setelah AS sebut Zawahiri tewas
Copyright © ANTARA 2022