Rakyat, terutama perempuan, tidak punya masa depan.

Kabul (ANTARA) - Senin (15/8) menandai satu tahun Taliban berkuasa di Afghanistan, yang disambut dengan perayaan kecil oleh para anggotanya.

Afghanistan, sementara itu, sedang bergulat dengan kemiskinan yang memburuk, kekeringan, malnutrisi, serta harapan yang memudar di kalangan perempuan.

Pada Senin di Kabul, beberapa orang merayakan momentum satu tahun kekuasaan Taliban dengan menembakkan senjata ke udara.

Para petempur Taliban berkumpul, melambaikan bendera-bendera kelompok itu yang berwarna hitam putih.

Setahun lalu, mereka melakukan pawai di ibu kota Kabul setelah membukukan serangkaian kemenangan besar di medan pertempuran.

"Hari ini adalah hari kemenangan bagi kebenaran dari kebohongan, dan hari keselamatan serta kebebasan bagi bangsa Afghanistan," kata juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, melalui pernyataan.

Sebelum merebut kekuasaan tahun lalu, kelompok gerilyawan Taliban berperang melawan pasukan negara-negara asing pimpinan Amerika Serikat.

Afghanistan sekarang menjadi lebih aman kendati cabang ISIS di negara itu beberapa kali melancarkan serangan.

Namun, keadaan relatif aman itu tidak bisa menutupi berbagai tantangan besar yang dihadapi Taliban dalam membawa Afghanistan menuju pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

Mereka menghadapi tekanan berat di bidang ekonomi, sebagian besar karena Afghanistan terkucil setelah pemerintah negara-negara asing menolak mengakui keabsahan Taliban sebagai pemimpin di Afghanistan.

Hak Perempuan

Afghanistan sangat bergantung pada bantuan pembangunan. Namun, bantuan itu sudah terputus ketika masyarakat internasional menuntut Taliban untuk menghormati hak asasi rakyat negara itu.

Pemberian akses bagi perempuan untuk bisa bekerja dan mengenyam pendidikan merupakan bagian utama dari tuntutan tersebut.

Sulit bagi para perempuan di Afghanistan untuk berharap bahwa mereka akan punya peranan penting pada masa depan negara itu.

Selama masa Taliban memimpin Afghanistan pada akhir 1990-an, perempuan tidak bisa bekerja, anak-anak perempuan dilarang bersekolah, dan hukum Islam diterapkan secara brutal, termasuk eksekusi mati di depan umum.

Sekarang, masyarakat madani dan media independen juga mengerucut. Banyak di antara mereka yang pergi meninggalkan negara itu.

Misi PBB di Afghanistan mengatakan dalam kajiannya baru-baru ini bahwa Taliban menekan perbedaan pendapat dengan menangkapi wartawan, aktivis, dan pengunjuk rasa.

Taliban, melalui juru bicaranya, membantah laporan PBB tersebut dan mengatakan bahwa penahanan semena-mena tidak diperbolehkan.

Tuntutan

Taliban mendesak dana cadangan bank sentral senilai sembilan miliar dolar AS (sekitar Rp133,65 triliun) yang ditahan di luar negeri agar dikembalikan ke Afghanistan.

Namun, pembicaraan dengan Amerika Serikat menghadapi rintangan.

Pasalnya, AS antara lain menuntut seorang pemimpin Taliban yang dikenai sanksi supaya turun dari jabatannya sebagai orang kedua di bank sentral Afghanistan.

Taliban menolak memenuhi tuntutan tersebut. Kelompok itu mengatakan pihaknya menghormati semua hak rakyat Afghanistan dalam kerangka pemahaman mereka soal hukum Islam.

Jika tidak ada perubahan besar sikap di salah satu pihak, tidak akan ada penyelesaian cepat bagi lonjakan harga-harga, pengangguran, dan kelaparan --yang bisa menjadi semakin buruk dalam memasuki musim dingin.

"Kami semua sedang masuk menuju kegelapan dan malapetaka," kata Amena Arezo, seorang dokter dari Provinsi Ghazni di Afghanistan tenggara.

"Rakyat, terutama perempuan, tidak punya masa depan," katanya.

Hidup dalam Kemiskinan

Ada sekitar 25 juta warga Afghanistan yang kini hidup dalam kemiskinan.

Angka itu merupakan lebih dari setengah jumlah penduduk.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa hampir 900.000 pekerjaan bisa hilang tahun ini karena ekonomi tidak bergerak.

Pemerintahan negara itu masih dianggap sebagai pemerintah sementara atau otoritas de facto yang digawangi para penjabat menteri.

Keputusan para menteri bisa dipatahkan oleh pemimpin spiritual tertinggi Taliban, yang berada di kota bagian selatan, Kandahar.

Beberapa ahli undang-undang dasar dan hukum mengatakan tidak selalu jelas bagaimana hukum Islam menyangkut moral akan diinterpretasikan dan diterapkan.

"Masalah yang paling utama adalah tidak ada keseragaman hukum," kata Zalmai Nishat, pakar UUD Afghanistan yang pernah bekerja sebagai penasihat pemerintah.

Sumber: Reuters

Baca juga: Pimpinan Taliban gelar pertemuan setelah AS sebut Zawahiri tewas
Baca juga: Bank sentral Afghanistan lelang dolar AS jaga stabilitas uang nasional

Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022