Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Iris Rengganis menekankan bahwa terjadinya mutasi virus menyebabkan Indonesia belum aman sepenuhnya dari penularan COVID-19 meski anti bodi masyarakat sudah tinggi.
“Walaupun anti bodinya sudah meningkat, kita tetap bisa tertular. Jangan orang pikir tidak bisa tertular, tetap bisa tertular karena sudah terjadi mutasi virus,” kata Iris dalam Talkshow Sambut Kemerdekaan, Prokes Jangan Kendor yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Iris menuturkan bahwa mutasi menyebabkan sebuah virus akan terus hidup, karena mutasi merupakan cara virus untuk bertahan hidup dari lingkungan di sekitarnya. Dalam kasus COVID-19, virus dapat bermutasi karena memiliki RNA.
Akibatnya, meskipun anti bodi dalam masyarakat telah meningkat karena vaksinasi COVID-19 yang sudah baik dijalankan, penularan bisa terus terjadi kapanpun dan dimanapun selama terdapat kontak sosial antar sesama manusia.
Baca juga: 58.642.419 warga RI terima vaksin COVID-19 dosis penguat
Baca juga: Satgas: Kesadaran prokes pengelola ruang publik alami penurunan
Ditambah dengan adanya penelitian yang mengatakan bahwa anti bodi dapat menurun setelah enam bulan semenjak suntikan terakhir dilakukan.
Iris menekankan akan lebih parah bagi seseorang yang sudah memasuki usia lanjut (lansia), menderita komorbid ataupun penyintas auto imun dan tidak bisa mengikuti vaksinasi COVID-19. Sehingga, kelompok tersebut harus lebih waspada dengan menghindari kerumunan ataupun tempat publik yang ramai seperti mal.
Menurutnya, vaksinasi dapat bekerja pada tubuh secara optimal bila diimbangi dengan penerapan protokol kesehatan yang kuat seperti memakai masker, menjaga jarak, istirahat yang cukup dan mengkonsumsi makanan yang bergizi.
Dengan demikian, Iris menekankan agar pemberian dosis penguat harus terus diperluas dan sesegera mungkin diselesaikan agar imun dapat tetap terjaga. Selain itu diharapkan protokol kesehatan tetap dijalankan di saat negara berupaya secara perlahan bergerak menuju endemi.
“Kita tidak bisa mengatakan bahwa anti bodi tinggi, bisa melindungi. Kecuali kalau dia tidak ada mutasi kita juga harus tetap kembali lagi akhirnya protokol kesehatan,” kata Iris.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan RI melalui Epidemiolog dari Universitas Indonesia Iwan Ariawan mengungkap proporsi masyarakat Indonesia yang memiliki kadar anti bodi terhadap SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 meningkat menjadi 98,5 persen berdasarkan hasil serologi survei (serosurvei) pada Juli 2022.
"Hasil serosurvei menunjukkan peningkatan proporsi penduduk yang punya anti bodi SARS-Cov-2 dari 87,8 persen pada Desember 2021 menjadi 98,5 persen di Juli 2022," kata Iwan, Kamis (11/8).
Serosurvei hasil kerja sama Kementerian Kesehatan dan Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) itu merupakan kali ketiga dilakukan secara nasional, setelah sebelumnya bergulir pada Desember 2021, Maret 2022.
Serosurvei ketiga dilakukan dengan mengunjungi kembali sebanyak 84,5 persen dari total 20.501 sampel yang terpilih pada 2021 melalui kuisioner hingga pemeriksaan anti bodi yang dilakukan di 100 kota/kabupaten.
Iwan mengatakan kadar anti bodi yang dimiliki 98,5 persen penduduk Indonesia meningkat lebih dari empat kali lipat dibanding Desember 2021 dan Juli 2022.
"Median kadar anti bodi meningkat dari 444 unit per mm, jadi 2.097 unit per mm," katanya.*
Baca juga: Hoaks! Vaksin COVID-19 mengandung graphene, bereaksi pada jaringan 5G
Baca juga: PP Peralmuni: Sambut HUT RI dengan tingkatkan vaksinasi dosis penguat
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022