Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi menilai cuitan Duta Besar Ukraina Vasyl Hamianin, yang dianggap Kementerian Luar Negeri RI menyinggung perasaan, sebaiknya dapat disikapi dengan bijak oleh Kemlu.

Menurut Bobby, dengan mengutip Pasal 41 Konvensi Wina, Dubes Hamianin tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

“Walaupun cuitan tersebut kurang tepat dalam merespons kebijakan politik Indonesia yang berdaulat dalam perang ini, tapi rasanya tidak perlu diperpanjang ataupun sampai mengganggu hubungan bilateral kedua negara,” ujar Bobby Adhityo Rizaldi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Sebelumnya pada awal pekan lalu, Dubes Hamianin membalas cuitan Kemlu RI mengenai kecaman atas serangan Israel di Gaza-- yang menjatuhkan korban sipil, termasuk anak-anak.

Melalui akun @VHamianin di Twitter, dia mempertanyakan mengapa Indonesia tidak ikut mengecam keras serangan brutal terhadap Ukraina selama lima bulan terakhir yang mengakibatkan kematian ribuan anak.

Dalam cuitan lainnya yang merespons cuitan Kemlu RI mengenai kerja sama ASEAN-Rusia, Hamianin menegaskan tuduhannya terhadap Rusia yang disebut melanggar prinsip perdamaian dan kemakmuran karena telah membunuh dan menyiksa puluhan ribu orang selama perang dengan Ukraina.

Juru bicara Kemenlu RI Faizasyah menyatakan bahwa cuitan-cuitan Hamianin itu telah mencederai perasaan Indonesia.

Kemenlu juga telah memanggil sang dubes Ukraina untuk menyampaikan secara langsung ketidaksenangan (displeasure) pemerintah atas cuitan Hamianin yang dikecam karena mempertanyakan kebijakan luar negeri Indonesia.

Bobby melihat Indonesia memiliki kebijakan dalam memberikan simpati pada Ukraina tanpa perlu diperbandingkan dengan negara lain.

Ia berharap Hamianin dan Kemenlu bijak memahami posisi politik masing-masing.

Polemik di media sosial, ujarnya, tidak perlu diteruskan.

“Ke depan, hendaknya Beliau tidak perlu mempertanyakan lagi sikap Indonesia, sampaikan saja apa setuju dan terima kasih, atau kecewa dan menentang, supaya jelas posisinya,” ujar dia.


ASEAN, Rusia

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Ali Abdullah Wibisono menilai pemanggilan Kemenlu didasari prioritas Indonesia dalam menjaga jalur komunikasi yang efektif dengan semua kekuatan geopolitik.

“Kebijakan luar negeri Indonesia adalah melakukan balancing antara kekuatan-kekuatan geopolitik yang berkompetisi, sehingga kecaman terhadap Rusia tidak dilakukan untuk mencegah alienasi Rusia dari relasi dengan Indonesia, maupun dengan ASEAN,” tuturnya.

Abdullah mengatakan Indonesia merupakan negara kunci bagi ASEAN, sedangkan Rusia adalah anggota ASEAN Regional Forum dan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (EAS).

Dengan alasan tersebut, katanya, kehadiran Rusia di dua mekanisme regional yang bersentral pada ASEAN itu diusahakan tidak berakhir.

“Jika Indonesia memilih untuk mengutuk Rusia, maka seluruh relasi diplomatik dan keamanan Indonesia dengan Rusia pun berakhir, begitu juga dengan sikap ASEAN yang akan mengucilkan Rusia,” paparnya.

Ia menyebutkan G20 menjadi alasan berikutnya dalam menjaga jalur komunikasi yang efektif.

Ketika keketuaan ada di tangan Indonesia, katanya, tentu Indonesia tidak ingin G20 menjadi G19 karena tidak mengundang Rusia. Sikap cepat Indonesia untuk mengecam Israel adalah karena Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel.

Dalam lingkar konsentris kebijakan luar negeri Indonesia, Israel tidak masuk dalam prioritas. Tapi, menurut Abdullah, keadaan itu mungkin akan berubah karena Indonesia ingin punya pengaruh dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

Dia juga mengingatkan Indonesia untuk menjaga hubungan strategis dengan kekuatan-kekuatan geopolitik.

“Memutus relasi kemitraan dengan Rusia juga bisa menciptakan jarak dengan China karena kedua negara itu saat ini memiliki aliansi yang lebih erat sejak invasi ke Ukraina,” ujarnya.

Sementara itu, pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Radityo Dharmaputra menilai pemanggilan Dubes Ukraina adalah cerminan sikap pemerintah Joko Widodo.

“Terutama di masa Jokowi, selalu mencoba hati-hati kalau berurusan dengan negara besar, dan mencoba tidak ikut-ikut. Sangat pragmatis, tergantung Indonesia dapat apa, padahal seharusnya kalau mau sesuai konstitusi, ada amanat soal antipenjajahan dan mendorong perdamaian dunia,” kata dia.

Pada saat yang sama, lanjutnya, ada variabel politik domestik. Pemerintah berhitung pada dukungan publik. Dan pemerintahan saat ini, menurut dia, terkenal sangat “mendengar” publik.

Bahkan, kebijakan domestik saja bisa dibatalkan begitu ada tentangan publik, kata dia.


Baca juga: Kemlu panggil Dubes Ukraina terkait cuitan yang singgung Indonesia

Baca juga: Dubes Ukraina berharap invasi Rusia berakhir sebelum KTT G20 di Bali


Dubes Vasil: Rakyat Ukraina berharap Jokowi bawa perdamaian

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022