Kalau kebijakan terlambat, itu korbannya bisa sampai jutaan jiwa
Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengemukakan angka kematian akibat COVID-19 yang kini berkisar 18 jiwa dalam sepekan terakhir di Indonesia perlu menjadi evaluasi kebijakan pemerintah dalam upaya pengendalian pandemi.
"Angka kematian yang terjadi merupakan akumulasi dari kegagalan proses di hilir sampai ke hulu yang menggambarkan ketelatan berbagai respons," kata Dicky Budiman yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Menurut Dicky angka kematian di tengah wabah yang belum mencapai puncak gelombang, menggambarkan banyaknya kasus infeksi di masyarakat yang tidak cepat ditemukan dan dirujuk untuk penanganan kesehatan yang tepat.
Hal itu juga mengindikasikan secara kuat, bahwa kasus infeksi yang terjadi sudah mengarah pada kelompok paling berisiko di masyarakat, seperti lansia, pasien dengan komorbid.
Baca juga: Satgas: Waspadai peningkatan angka kematian dengan tingkatkan prokes
Baca juga: Masyarakat diminta segera booster kurangi kematian akibat COVID-19
"Indikator kematian adalah indikator keparahan suatu wabah. Artinya, situasi buruk atau bisa jadi memburuk," katanya.
Dicky mengatakan masa kritis pandemi di Indonesia belum melampaui puncak gelombang yang ia prediksi baru berlangsung pada akhir Agustus atau awal September 2022.
"Kasus kematian ini umumnya terjadi rata-rata dua sampai tiga pekan usai si pasien terpapar," katanya.
Dicky mendorong peran ahli kesehatan masyarakat di setiap level untuk mengingatkan pengambil kebijakan pengendalian wabah untuk mengantisipasi korban yang lebih banyak.
"Itu pentingnya pendekatan kesehatan publik yang tepat. Kalau kebijakan terlambat, itu korbannya bisa sampai jutaan jiwa," katanya.
Menurut Dicky sistem pelaporan kematian akibat pandemi COVID-19 di Indonesia jauh dari memadai. "Tidak mengagetkan jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan estimasi yang ditemukan di Indonesia tujuh kali lebih rendah dari estimasi WHO," katanya.
Dicky menambahkan angka kematian yang dilaporkan saat ini merupakan fenomena puncak gunung es, atau masih jauh dari situasi yang sebenarnya terjadi.
Untuk itu, Dicky mendorong agar booster pertama dan kedua bagi masyarakat segera dilakukan untuk mencegah penularan pada kelompok berisiko.
"Bukan hanya terbatas pada prokes, tapi juga temuan kasusnya," katanya.
Baca juga: Satgas: HUT ke-77 RI momentum perkuat prokes lindungi sesama
Baca juga: Epidemiolog: Booster pertama harus diprioritaskan
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022