Jakarta (ANTARA) - Kisah hidup Sjafruddin Prawiranegara dipentaskan secara monolog oleh Deva Mahenra, disutradarai Yudi Ahmad Tajudin dan naskahnya dibuat oleh Ahda Imran.
Monolog ini termasuk dalam seri monolog "Di Tepi Sejarah", program seni yang dibuat Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Baca juga: Deva Mahenra debut peran panggung di monolog "Di Tepi Sejarah"
Ahda Imran, yang sering menulis biografi berbagai tokoh, mengatakan ia melihat Sjafruddin juga masuk dalam bagian Bapak Bangsa Indonesia, tetapi posisinya memang berbeda dengan pahlawan yang namanya lebih familier di telinga banyak orang.
"Dia bukan di ring 1 (seperti Soekarno dan Hatta), mungkin dia di ring 4. Tapi di situ jejaknya masih ada sampai hari ini, seperti percetakan uang dan inisiasi Oeang Republik Indonesia karena dia Gubernur Bank Indonesia pertama," kata Ahda di konferensi pers "Di Tepi Sejarah", Jakarta, Senin.
Pementasan monolog menyoroti periode kala Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) atau mendapat mandat sebagai kepala pemerintahan Republik yang sah saat itu. Sjafruddin lebih memilih menggunakan istilah "ketua" sebab tidak yakin atas mandatnya untuk menggunakan kata "presiden".
Sisi kemanusiaan, sisi dramatis dan kisah saat dia memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menjadi fokus untuk naskah monolog ini. Sebelum menggarap monolog, kebetulan Ahda memang sedang mempelajari sejarah Sjafruddin secara intensif.
Hal menarik yang dilihat dari kisah hidup Sjafruddin adalah ketika Belanda berunding dengan Soekarno dan Hatta, padahal Sjafruddin yang merasa dilangkahi memegang posisi Ketua PDRI. Namun pada akhirnya dia tetap mengembalikan kekuasaan itu kepada Soekarno dan Hatta.
"Moral politik ini sudah langka di sini, orang-orang masa lalu lah yang masih punya suri tauladan."
Sutradara Yudi Ahmad Tajudin menambahkan, interpretasi yang disuguhkan merupakan opini yang mungkin saja ada sisi benar atau salah bila dilihat dari perspektif tertentu. Namun, yang paling penting adalah membuka ruang untuk berdiskusi mengenai interpretasi tersebut.
Baca juga: Deva Mahenra hingga Prabu Revolusi jatuh cinta pada TNI AU
Baca juga: Kesulitan yang dialami para pemain film "Serigala Langit"
Baca juga: Deva Mahenra cedera saat syuting di hutan lereng Merapi
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022