Palembang (ANTARA) - Kegagalan panen merupakan momok yang paling menakutkan bagi petani. Namun adanya penerapan teknologi dalam pertanian setidaknya dapat meminimalisasi kerugian itu.

Bank Indonesia (BI) saat ini gencar mendorong petani di Sumatera Selatan (Sumsel) menerapkan digitalisasi pertanian. Bank sentral bekerja sama dengan STP (Science Techno Park) Kabupaten Ogan Ilir membuat kawasan percontohan pertanian bawang dan cabai. Sejak menjalankannya pada Februari 2022, BI mengklaim tingkat keberhasilan panen mencapai 100 persen.

“Sebenarnya sederhana saja, petani menggunakan aplikasi digital yang memberitahukan mereka kapan harus menanam, memupuk, menyiram. Asal disiplin, maka akan berhasil,” kata Erwin.

Terdapat tiga aspek dalam penerapan digitalisasi pertanian ini yakni penggunaan alat sensor tanah dan cuaca, monitoring pemupukan dan pengairan melalui telepon seluler dan monitoring lahan menggunakan kamera pengawas (cctv).

Dari hasil pertanian bawang merah di STP (Science Techno Park) pada Februari lalu diketahui petani bisa panen 10 ton dari sebelumnya hanya 7 ton. Proyek percontohan pertanian bawang merah, cabai merah dan telur ayam ini juga bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sumsel.

BI menargetkan kegiatan di STP Ogan Ilir ini dapat ditiru oleh kabupaten/kota lain di Sumsel untuk mendorong masuknya digitalisasi di sektor pertanian.

Digitalisasi pertanian ini sangat penting karena bukan hanya untuk aspek distribusi dan pemasaran tapi juga untuk kegiatan pra produksi, proses produksi, panen hingga pasca panen. Dengan begitu, produksi pertanian Sumsel akan meningkat dan mencegah terjadinya kegagalan panen.

Bagi BI, kegiatan ini tak lain bermuara pada upaya mengendalikan inflasi daerah.

Sejak lima tahun terakhir, tiga komoditas yakni bawang merah, cabai merah dan telur ayam ras selalu menjadi penyumbang inflasi di Sumsel.

"Kami berharap dengan penerapan digitalisasi farming ini dapat mendongkrak produksi pertanian khususnya bawang dan cabai sehingga dapat membantu stabiltas harga dan produksi di Sumsel," kata Erwin.

Sementara itu Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sumsel Alamsyah mengatakan panen cabai sudah dilakukan di atas lahan seluas dua hektare yang dikelola oleh kelompok tani beranggotakan 13 orang.

Dengan lubang tanam lebih kurang 24.000 pohon, petani dapat melakukan satu siklus tanam selama 9-12 bulan dengan panen sebanyak 5-6 kali per hektare. Kini produksi petani meningkat bisa mencapai 12 ton per hektare.

Berkat adanya bimtek, supervisi dan monitoring dari Balitbangda dan STP, produksi cabai merah yang dihasilkan petani pada siklus kedua ini jauh lebih baik dibandingkan siklus pertama. Bukan hanya cabai merah, untuk kluster bawang merah juga mengalami peningkatan produksi saat panen pada awal Maret lalu.

Lahan tanaman bawang merah yang menggunakan bibit Bima Brebes seluas 1,2 hektare mampu menghasilkan 10 ton dengan harga jual Rp20.000 per kg.

Begitu juga dengan kegiatan peternakan ayam petelur dengan memanfaatkan bantuan sarana prasarana kandang battery dari Bank Indonesia yang memiliki daya tampung 500 ekor ayam.

Saat ini sudah menghasilkan 200 butir telur ayam per hari. Dengan asumsi Rp1.500 per butir maka peternak menghasilkan Rp600.000 per hari.

Anggota kelompok tani Kube Cabai Dedi Irawan mengatakan dirinya bersyukur dapat masuk dalam program kluster cabai binaan BI dan Balitbangda Sumsel. Jika mau usaha sendiri, menurutnya dibutuhkan butuh modal yang relatif besar yakni Rp60-70 juta per hektare.

Berkat bantuan ini Dedi dapat menjadi petani cabai karena sebelumnya hanya tanam sayur seperti timun, kacang panjang dengan modal sekitar Rp10 juta. Dalam program ini juga Dedi mendapatkan pengetahuan baru mengenai digitalisasi pertanian, termasuk mengenai teknik pertanian terkait penanaman, pemupukan, perawatan hingga panen.

"Bisa lihat sendiri, tanaman cabai berbuah lebih lebat dan subur, sementara banyak petani cabai lain di Ogan Ilir ini justru gagal panen karena pengaruh cuaca hujan lebat sejak akhir tahun lalu,” kata Dedi.


Kemandirian Pangan

Bank Indonesia memperkirakan laju inflasi di Sumsel pada 2022 bakal lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.

Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan mencatat laju inflasi Sumsel pada Juli 2022 sebesar 6,26 persen (year on year). Sedangkan inflasi pada 2021 tercatat sebesar 1,84 persen.

Sejumlah petani memilah gabah hasil panen di kawasan persawahan Desa Durian Kelurahan Veteran Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), Sumatra Selatan, Jumat (19/2/2021). (ANTARA FOTO/Feny Selly/foc.)

Saat ini dunia juga sedang dihadapkan krisis pangan dan krisis energi sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina.

Terkait ini Sumsel fokus dalam menyukseskan Program Kemandirian Pangan (Gerakan Sumsel Mandiri Pangan) yang sudah diluncurkan pada tahun 2021. Program ini mengajak masyarakat untuk memanfaatkan pekarangan rumah dan lahan sempit untuk bercocok tanam dan berternak untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.

Ternyata program ini juga didengungkan Presiden Jokowi yang mengharapkan masyarakat memanfaatkan halaman rumah untuk menanam hortikultura di tengah krisis pangan yang saat ini melanda dunia.

“Kami sudah membuktikannya ini berdampak, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang terjaga hingga penurunan angka kemiskinan,” kata Herman Deru.

Pemprov Sumsel menjalankan Program Kemandirian Pangan untuk menekan angka kemiskinan yang hingga kini masih di kisaran 12 persen.Dengan SDA yang berlimpah sejatinya tak layak ada warga miskin hingga 3.000 orang di Sumsel.

Oleh karena itu warga Sumsel didorong untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari sehingga tak disangkal tantangan kini yakni bagaimana mengubah cara pandang masyarakat dari sebelumnya konsumtif menjadi produktif.

Program Gerakan Sumsel Mandiri Pangan (GSMP) ini sepatutnya tidak dianggap sepele karena justru merupakan kunci untuk hidup lebih sejahtera. Bahkan, dunia mencatat saat ini sejumlah negara dinyatakan bangkrut lantaran tidak mempunyai kemandirian dari sisi pangan dan energi.

Seperti cabai, apa salahnya menanam sendiri. Dengan begitu, sudah bisa menekan biaya keluarga. Apalagi jika ini ditingkatkan dengan memenuhi sendiri kebutuhan protein seperti telur ayam dan daging ikan, kata gubernur.

Dengan metode yang sangat sederhana seperti berternak ikan lele di dalam ember (budidamber), program ini sejatinya dapat terlaksana mudah bagi warga di pedesaan.

Asisten II Bidang Ekonomi dan Keuangan Pemprov Sumsel Ekowati Retnaningsih mengatakan program ini bertujuan mewujudkan ketahanan pangan dan gizi keluarga melalui pengembangan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dengan memanfaatkan sumber daya setempat secara berkelanjutan.

Kemandirian pangan Sumsel dimulai dari kemandirian pangan tingkat rumah tangga, yang sasarannya adalah rumah tangga non miskin dan rumah tangga miskin. Pemanfaatan pekarangan bisa diwujudkan dengan budidaya tanaman sayur, cabai, rempah-rempah di lahan pekarangan atau menggunakan pot.

Budi daya ikan dengan menggunakan kolam terpal, drum, tong, atau kolam tanah. Budi daya ayam kampung petelur maupun untuk dimanfaatkan dagingnya.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumsel Ruzuan Effendi mengatakan pemenuhan pangan sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif maka manusia memerlukan 45 jenis zat gizi yang diperoleh dari makanan dengan tingkat konsumsi dalam kategori cukup, atau tidak boleh berlebihan apalagi kekurangan.

Menurutnya, Sumsel memiliki beragam jenis tanaman sumber karbohidrat seperti umbi-umbian, jagung, ganyong, kentang, pisang, dan berbagai jenis sayuran. Namun pemanfaatannya masih terbatas.

Oleh karena itu Pemprov Sumsel akan menumbuhkan dan mengembangkan potensi pangan lokal guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan daerah.

Berdasarkan data pada 2020, konsumsi padi-padian di Sumsel masih sangat tinggi yaitu berkisar 111,6 kilogram/kapita per tahun yang didominasi oleh beras sebanyak 92 kilogram/kapita per tahun. Sedangkan untuk umbi-umbian masih rendah berkisar 15,6 kilogram/kapita per tahun yang didominasi singkong sebanyak 9,7 kilogram/kapita per tahun.

Untuk itu diperlukan peningkatan konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal dan menurunkan konsumsi pangan sumber karbohidrat yaitu beras.

Sumsel membidik sebanyak 81.000 rumah tangga miskin di 17 kabupaten/kota untuk menjalankan program kemandirian pangan yang dijalankan sejak November 2022. Sejauh ini Program GSMP sudah menyasar 2.031 rumah tangga miskin.

Sasaran dari program ini yakni keluarga miskin, yang mana saat ini angka kemiskinan di Sumsel masih di kisaran 12 persen (sekitar 3 ribu jiwa). Dari target sasaran rumah tangga miskin diketahui Kabupaten Lahat menjadi yang terbanyak yakni 9.450 keluarga, disusul OKU Timur 7.800 keluarga dan Banyuasin 7.625 keluarga.

Program ini sebenarnya sejalan dengan program nasional terkait upaya menjaga ketahanan pangan.Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2022 ditetapkan sebanyak 20 persen dana desa digunakan untuk program ketahanan pangan dan hewani.

Presiden Jokowi belum lama ini menegaskan pentingnya menjaga pasokan pangan nasional dan langkah-langkah strategis mencegah krisis pangan.

Para petani diminta mulai menanam tanaman yang merupakan subtitusi pangan impor, seperti untuk mengatasi impor gandum dengan bahan campurannya seperti menanam singkong, sorgum dan sagu.

Apa yang diharapkan kepala negara ini tentunya terimplementasi nyata di daerah, seperti yang dilakukan Sumsel yang fokus pada program ketahanan pangan sejak dua tahun terakhir.

Baca juga: BI: Digitalisasi pertanian efektif tekan kegagalan panen

Baca juga: Digitalisasi agrikultur disebut kunci tingkatkan pembangunan pertanian

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022