Jika dibandingkan dengan sebelum kemerdekaan, memang pendidikan Indonesia lebih baik dari berbagai aspek. Pada masa Penjajahan Belanda kaum pribumi Indonesia banyak mengalami diskriminasi dan tekanan.
Baca juga: Dunia pendidikan harus ambil bagian dalam Metaverse Indonesia
Kaum pribumi Indonesia dipersulit masuk sekolah umum, terutama pendidikan menengah ke atas. Banyak sejarah tokoh perjuangan Indonesia menjadi saksi sejarah diskriminasi pribumi Indonesia dalam upaya mendapatkan pendidikan.
Bahkan Willem van Eldik yang memiliki adik ipar —yang berwajah pribumi tulen— menghadapi hambatan untuk belajar di ELS. Dia harus mengaku-aku Supratman, adik iparnya, sebagai anaknya dan diberi nama tambahan Rudolf. Wage Rudolf Supratman kemudian diterima di kelas tiga ELS Makassar. Akan tetapi baru beberapa bulan ia mengenyam Pendidikan di sekolah Belanda itu, ia sudah dikeluarkan.
"Bukan karena ia bodoh atau berkelakuan buruk, tetapi semata-mata hanya karena ia diketahui bukan anak kandung Sersan Willem van Eldik,” tulis Bambang Sularto dalam biografi Wage Rudolf Supratman (2012: 27).
Baca juga: G20 EdWG: Solidaritas kunci utama dukung kebangkitan dunia pendidikan
Meski van Eldik berusaha keras agar adik iparnya itu diterima dengan menjadikannya berstatus hukum sama dengan orang Belanda lewat Gelijkgested, Supratman memilih tidak berkeras masuk sekolah itu.
Belakangan Wage Rudolf Supratman (1903-1938), disiksa dengan perlakuan diskriminatif. Dia menjadi musuh pemerintah kolonial karena menciptakan lagu "Indonesia Raya". Tentu masih banyak warga pribumi lainnya yang mengalami diskriminasi seperti WR Supratman.
Pemerintah Belanda juga melakukan pengekangan dan diskriminasi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam termasuk para gurunya.
Oleh sebab itu, pendidikan islam harus dikontrol, diawasi, dan dikendalikan. Salah satu kebijakan yang diberikan adalah penerbitan Ordonansi Guru, yaitu kewajiban bagi guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah Belanda.
Akibat pemberlakuan Ordonansi Guru adalah tidak semua orang dapat menjadi guru agama dan diperbolehkan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan meskipun dia ahli agama.
Baca juga: Indonesia ajak dunia tata dan bangun sistem pendidikan
Latar belakang penerbitan ordonansi ini adalah bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Selain kebijakan ordonansi guru, pemerintah Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ordonansi ini mengatur tentang kewajiban mendapatkan izin dari pemerintah Hindia-Belanda bagi penyelenggaraan pendidikan, melaporkan kurikulum dan keadaan sekolah.
Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan masyarakat tertentu. Ordonansi sekolah ini tentu menjadi faktor penghambat perkembangan pendidikan Islam.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan Barat seperti Belanda dianggap tidak sesuai dengan karakter anak bangsa. Pendidikan Barat cenderung bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman dan ketertiban). Karakter pendidikan seperti ini akan merusak budi pekerti anak didik sebab hidup di bawah paksaan dan tekanan.
Baca juga: Literasi dan numerasi dalam transformasi dunia pendidikan Indonesia
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang penolakannya pada pendidikan Barat yang dinilainya menekan atau memasung adalah refleksi yang dilihat dan dialaminya ketika bergumul di dunia pendidikan ketika zaman Belanda.
Sebagai jalan keluarnya, Ki Hadjar Dewantara juga mencetuskan lima asas pendidikan yang dikenal juga dengan Pancadharma, yang salah satunya menekankan kemerdekaan.
Asas kemerdekaan dalam pendidikan berprinsip bahwa pengajaran yang ditujukan untuk peserta didik diarahkan untuk merdeka batin, pikiran, dan tenaganya.
Pendidik tidak hanya memberikan pengetahuan searah (dogmatis vertikal), namun membebaskan peserta didik untuk merdeka mengembangkan dirinya secara mandiri.
Baca juga: Siswa Indonesia raih prestasi pada Kejuaraan Debat Pelajar Dunia 2020
Apakah spirit kemerdekaan dalam dunia pendidikan dari para founding fathers itu terealisasi setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 sampai saat ini? Dari segi kebijakan pendidikan diskriminatif era kolonialisme, jelas sudah banyak yang dihapuskan pasca-kemerdekaan.
Tapi yang masih belum maksimal barangkali pemberian peluang yang sama antara si miskin dan si kaya untuk meraih pendidikan yang berkualitas di perguruan tinggi. Namun seiring perjalanan waktu, hal ini bisa terus dibenahi.
Ujian nasional juga dianggap seolah menjadi sumber stress bagi pelajar, bahkan orangtua dan guru, karena ada tuntutan pencapaian nilai yang tinggi.
Keberadaan UN yang lebih mengedepankan skor nilai akademis dinilai kurang komplementer dengan prinsip pendidikan itu sendiri, yang juga membutuhkan aspek psikologis dan perkembangan kepribadian siswa.
Hingga tahun 2018, ujian akhir nasional sering diwarnai jerit tangis memilukan pelajar sehingga menjadi mengharubirukan wacana publik di tingkat nasional.
Tentang kurangnya respons masyarakat terhadap Ujian Nasional ini juga pernah disurvei PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 2012. Hasilnya, bahwa 70 persen masyarakat dan guru setuju UN dihapus.
Baca juga: Mutu pendidikan di Indonesia diharapkan keluar dari peringkat 72 dunia
Di tengah keluhan publik terhadap sistem pendidikan di masa lalu, Mendikbudristek Nadiem Makarim berusaha memberikan solusi dengan apa yang disebut program “Merdeka Belajar”.
Pada prinsipnya kurikulum pendidikan Merdeka Belajar itu bertujuan untuk membantu para guru mengajar sesuai dengan kemampuan murid, sehingga menciptakan iklim belajar-mengajar yang menyenangkan, bermakna, dan berdampak pada daya serap anak.
Harapan Mendikbudristek Nadiem Makarim adalah Platform Merdeka Belajar ini dapat mewujudkan pembelajaran yang memerdekakan.
Program Merdeka Belajar yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir sejak pencanangannya mendapat respons positif para pemangku pendidikan terutama masyarakat terkait.
Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia melakukan survei yang menunjukkan penilaian masyarakat terhadap kinerja Kemendikbudristek Nadiem Makarim, termasuk program Merdeka Belajar. Sebanyak 42 persen responden dari survei itu menganggap Program Merdeka Belajar melalui salah satu programnya KIP Kuliah Merdeka dinilai sangat bermanfaat.
Baca juga: Kemenristekdikti : diaspora bangun Indonesia dari belahan dunia
Persentase 42 persen sudah cukup bagus karena belum empat tahun berjalan. Selain itu, kemungkinan responden yang diambil tidak bersentuhan langsung dengan program Merdeka Belajar.
Kurikulum Merdeka Belajar adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam, di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.
Kurikulum ini dapat membantu guru untuk memilih berbagai perangkat ajar untuk menyesuaikan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.
Karakteristik utama dari Kurikulum Merdeka Belajar adalah mendukung kompetensi pendidikan. Berdasarkan sumber Kemendikbudristek, karakteristik utama dari Kurikulum Merdeka Belajar meliputi:
Pertama, Kurikulum Merdeka Belajar lebih sederhana dan lebih adaptif pada muatan lokal.
Kedua, pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter. Memberi waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi.
Baca juga: Tumbuh pesat, industri pendidikan Indonesia peluang pasar dunia
Ketiga, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Keempat, guru mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik.
Walaupun di atas kertas banyak kelebihan, program ini tampaknya masih perlu diperbaiki agar memasuki tahun kelima, semakin banyak manfaat yang dirasakan masyarakat.
Oleh karena itu, ada beberapa hal dari program merdeka belajar yang perlu dibenahi terutama pada program Kampus Merdeka.
Baca juga: Presiden ingatkan pentingnya kemampuan adaptasi dalam dunia pendidikan
Pertama, bagaimana membuat prosedur administrasi perpindahan mahasiswa yang pindah-pindah dari satu prodi ke prodi lainnya, atau bahkan dari satu kampus ke kampus lainnya. Karena dengan pola Kampus Merdeka memunculkan perbedaan standar penilaian antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya dan sekolah satu dan lainnya.
Kedua, dengan adanya perbedaan materi pembelajaran tiap kampus dan tiap sekolah, dengan lainnya, menjadikan sulit membuat standar pendidikan yang sama antar-sekolah, antar-daerah dan sebagainya.
Di mata pelajaran pokok di semua sekolah, kisi-kisi kurikulum ditetapkan oleh Kemendikbudristek. Hal ini membuat standar penilaian yang sama, guna memudahkan pihak sekolah menyeleksi murid baru dari jenjang sekolah lebih rendah berdasar nilai ujian akhir murni (dulu namanya Ujian Nasional atau UN).
Di masa lalu standar kurikulum yang seragam selain memudahkan mobilitas pendidikan vertikal dan horizontal juga memudahkan dunia kerja menyeleksi pelamarnya berdasar skor penilaian ijazah atau nilai akhir ujian yang diperoleh.
Dengan kurikulum Merdeka Belajar yang materinya banyak tergantung sekolah masing-masing, tantangannya adalah bagaimana tetap menjamin kualitas nilai ijazah dan nilai ujian antar-sekolah dan kampus memiliki kualitas yang sama.
Baca juga: Presiden: Manfaatkan pandemi untuk koreksi total pendidikan Indonesia
Sudah seharusnya memasuki tahun kelima semuanya harus dievaluasi secara menyeluruh sehingga kreativitas Merdeka Belajar versi Mendikbudristek Nadiem Karim benar-benar membawa manfaat dan kemajuan bagi pendidikan Indonesia.
Evaluasi itu meliputi mutu lulusan antar-sekolah dan daerah, serta penguasaan materi sebelum dan sesudah pemberlakuan Merdeka Belajar.
Jika evaluasi ini dilakukan, maka masyarakat Indonesia memiliki parameter yang jelas tentang capaian kemajuan pendidikan yang memerdekakan dan sejalan dengan pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa.
*) M Aminudin adalah Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS), Mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPRRI tahun 2005, Staf Ahli DPRRI 2008, Tim Ahli DPD RI 2013 dan Pengurus Pusat ALUMNI UNAIR
Copyright © ANTARA 2022