Jakarta (ANTARA) - Di sebuah pasar tradisional nampak puluhan wanita berkain dan berkebaya yang rata-rata berusia setengah baya nampak melakukan aktivitas jual beli. Ada pedagang ikan, pedagang sayuran, pedagang makanan, pedagang ayam, dan sebagainya dan tentu saja dengan para pembeli yang berkerumun.
Sementara itu di lain tempat terlihat empat wanita setengah tua yang juga berkain atau jarit, berkebaya mengelilingi seorang wanita yang berjualan nasi tupang yang diletakkan di atas ambin bambu di sudut pasar.
Itulah dua buah karya lukis di antara puluhan lukisan lain karya Cak Min Mustamin, pelukis asal Klaten, Jawa Tengah yang banyak menampilkan aktivitas ibu-ibu pedesaan yang selalu digambarkan mengenakan kebaya dan kain serta berumur setengah tua, atau akrab disebut "simbok" dalam bahasa Jawa.
Ya, pelukis yang lahir di Sidoarjo, Jawa Timur, 18 Juli 1973 itu selalu menampilkan figur simbok-simbok dalam setiap karya lukisnya dan sepertinya itu menjadi ciri khas yang tak pernah ditinggalkan atau membentuk dirinya sebagai seniman lukis simbok-simbok.
Beberapa karya lain juga menampilkan figur seorang wanita berkain berkebaya sedangkan duduk sendirian di latarbelakangi padi yang menguning, lukisan lain menggambarkan seorang ibu sedang mencari kutu rambut anak gadisnya di depan rumah yang keduanya digambarkan mengenakan kain dan kebaya.
Hampir 90 persen karya lukis yang dihasilkan pemilik nama asli Mustamin itu merupakan figur ibu-ibu dari pedesaan yang masih sangat sederhana dalam penampilan, sehingga tak heran jika dirinya dijuluki pelukis simbok-simbok.
Ternyata bagi Cak Min Mustamin, menjadikan sosok simbok-simbok sebagai tema hampir sebagian besar karya lukisnya bukanlah hal yang kebetulan atau bahkan iseng semata-mata. Namun, dia mengangkat figur ibu-ibu pedesaan yang sederhana tersebut memiliki alasan serta arti tersendiri.
Diangkatnya figur simbok-simbok dalam setiap goresan kuas di atas kanvas itu ternyata berangkat dari masa lalu sang pelukis yang sejak kecil sudah ditinggalkan kedua orang tuanya menghadap Sang Khaliq atau yatim piatu. Saat usia taman kanak-kanak sang ayah telah meninggal dan Mustamin kecil dititipkan pada Pak Dhe di Mojokerto, sebuah kota di Jawa Timur sekitar 100 km dari tempat kelahirannya di Sidoarjo.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya saat Mustamin kecil kelas 2 sekolah dasar, menyusul sang ibu menghadap sang pencipta. Karena di usia yang masih kecil sudah berpisah dengan ibunya, setelah tinggal dengan Pak Dhe, Mustamin pun tak ingat seperti apa wajah ayah dan ibunya.
"Wajahnya, figurnya seperti apa, saya tidak bisa membayangkan hingga saat ini."
Kehilangan kedua orang tuanya, terutama sang ibu, membuat pria yang sejak kecil telah menyukai aktivitas melukis tersebut mencoba mengais-ngais bayangan sosok ibunya melalui figur simbok-simbok yang dia temui baik di jalan, di pasar, di sawah, atau di kampungnya sendiri.
Dalam kata lain pengakuannya, karya lukisannya, dengan figur wanita pedesaan atau simbok-simbok merupakan jembatan kerinduan, antara tingginya rasa kehilangan akibat perpisahan dan dalamnya kerinduan dengan ibu yang tak pernah dijumpainya. Diapun mencoba mereka-reka wajah sang ibunda setiap kali menggoreskan kuas di atas kanvas.
Baca juga: Narasi jadikan karya seni lebih mahal
Baca juga: Budayawan Agung Rai usulkan jalan di Ubud-Bali gunakan nama pelukis
Merantau
Selepas lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sidoarjo pada 1993, Mustamin memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman guna mengadu untung ke kota besar, apalagi untuk meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi anak ke empat dari lima bersaudara itu merasa tidak memiliki biaya.
Meskipun dalam dirinya kental dengan bakat melukis, bukan berarti nilai akademik Mustamin di mata pelajaran lain rendah, justru sebaliknya sejak SD hingga SMA dia termasuk murid berprestasi. Saat masih SD sering mewakili sekolahnya mengikuti kejuaraan cerdas cermat, baca puisi dan lain-lain.
Sedangkan saat SMA dia masuk jurusan A1 atau fisika yang diperuntukkan bagi siswa yang pandai dalam ilmu pasti seperti matematika, kimia, dan fisika. Istilahnya untuk anak-anak pandai. Namun jiwa seni yang tumbuh tak bisa ditutupi meskipun dengan masuk di jurusan ilmu pasti dan memiliki prestasi.
Gejolak berkesenian dalam batinnya mendorongnya untuk merantau ke Pulau Bali ataupun Yogyakarta, sebagaimana dipesankan oleh guru melukisnya semasa SMA, kalau ingin menjadi seniman beneran harus ke Bali atau ke Jogja, dimana pada saat itu itu kedua daerah tersebut merupakan "kiblat" seni di tanah air.
Setahun merasakan kehidupan di Pulau Dewata namun dia merasa tidak kerasan dan memutuskan hijrah ke Jogja.
Dia beralasan di Bali orang melukis benar-benar untuk mencari uang, atau motif ekonomi, yang dirasakan bertentangan dengan gejolak batinnya. Sedangkan dia merantau benar-benar ingin menjadi pelukis, ingin merasakan kehidupan seniman lukis itu seperti apa.
"Mereka melukis, dalam pikiran saya, bener-benar untuk nyari duit, kapitalis bener. Saya gak suka seperti itu, saya pengin jadi pelukis itu seperti apa,".
Hanya berbekal nekat dan semangatlah dia menjelajahi kota Yogyakarta, untuk mengembangkan bakat seni yang telah mendarah daging. Jalanan, bukanlah hal yang tabu buat dirinya tinggal.
Namun kekerasan demi kekerasan di jalanan ternyata membuatnya ingin mencari tempat yang lebih tenang untuk mengembangkan jiwa seninya. Akhirnya, Mustamin pindah ke Klaten, kota kecil yang berjarak 30 km sebelah timur dari Yogyakarta.
Mungkin memang sudah jalan hidup berkesenian yang sudah ditakdirkan untuk dirinya, saat di Klaten, pada 1995, Mustamin bertemu dengan Rustamaji, maestro lukis Klaten seangkatan pelukis Affandi maupun Soedjojono. Pembawaan Rustamadji yang tenang, kalem, seperti seorang seorang empu, membuat Cak Min seperti menemukan guru, dalam artian guru untuk membagi ilmu melukis maupun guru dalam mencari ilmu kehidupan.
Pada 1997 Mustamin memutuskan untuk tinggal di rumah Rustamaji, dan dari situlah dia sering mengikuti ataupun membantu Rustamadji ketika menggelar pameran lukisan di sejumlah kota di tanah air seperti di Jakarta. Dari sinilah intuisi, jiwa dan kepandaian dalam melukisnya semakin terasah, dan mungkin pula sedikit banyak gaya maupun obyek lukisan dari Rustamadji menitis pada Mustamin.
Obyek kehidupan masyarakat sehari-hari, terutama kalangan bawah, seperti penjual nasi, tukang patri, pengamen dan penari jalanan, selalu terpotret dalam kanvasnya dengan gaya lukisan realis.
Selama tinggal di Klaten itulah Mustamin banyak menemukan sosok ibu-ibu, terutama di pasar-pasar. Dia sering berdialog dengan mereka. Dan salah satunya seorang ibu dari gunung yang setiap pagi menempuh jarak puluhan kilometer turun ke kota untuk menjual hasil kebunnya yang bisa jadi hasilnya tidak terlalu banyak.
Hal inilah yang membuka mata batin Cak Min lebih dalam terhadap sosok ibu-ibu, yang selalu menjadi tema dalam lukisannya.
Seiring perjalanan waktu dan usia, figur-figur simbok tersebut tak sekedar sebagai pengobat rindu kepada orang tuanya namun menjadi rasa kekaguman, rasa penghormatan, penghargaan Cak Min terhadap sosok perempuan yang dinilainya memiliki semangat kerja keras, kekuatan dan tangguh, pantang menyerah dalam menghadapi roda kehidupan.
Seorang ibu adalah simbol kasih sayang, simbol kesabaran, kekuatan, keindahan dan perjuangan. Itulah makna yang selalu ingin disampaikan Cak Min Mustamin melalui goresan-goresan kuasnya.
Kekhasan yang dimiliki dalam setiap karyanya tersebut tak pelak menasbihkannya sebagai salah satu seniman lukis berprestasi. Pameran di dalam negeri maupun luar negeri selalu diikutinya dan karya-karya lukis salah satu pengurus Paguyuban Senirupawan Klaten (Pasren) inipun banyak diapresiasi, lewat penghargaan yang diperoleh, maupun dikoleksi para penggemar benda seni, khususnya lukisan.*
Baca juga: Monolog "Di Tepi Sejarah" hidupkan lagi kisah pelukis Emiria Soenassa
Baca juga: HUT DKI, 21 lukisan bertema Betawi dipamerkan di TIM
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022