Panjangnya 21-20 centi, masih kecil ini
Jakarta (ANTARA) - Harapan kembali merekah setelah 14 hari hanya menelusuri tanda-tanda tak bertuan. Harapan itu berupa penemuan jejak mungil sang badak jawa.
Penemuan jejak mungil bisa menjadi kabar bahagia keberhasilan konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon.
"Panjangnya 21-20 centi, masih kecil ini," bisik salah satu petugas Monitoring Badak Jawa (MBJ) saat melakukan pengukuran jejak dalam ekspedisi badak jawa Tim Antara.
Kendati demikian, pembuktian harus dilakukan secara sahih demi memastikan individu itu benar-benar badak jawa baru.
Petugas MBJ bersama tim ANTARA, lantas mengikuti jejak tersebut yang kebetulan juga mengarah ke jalur pemasangan kamera jebak. Harapan terus menjulang, rasa lelah membuyar, dan mimik muka berubah menjadi raut kemenangan.
Namun harapan itu hanya bertahan sesaat, raut wajah seluruh tim MBJ dan ANTARA kembali memudar. Kamera jebak yang menjadi media utama untuk mengidentifikasi badak jawa terjatuh dan tak merekam individu yang tengah melintas akibat tali putus digigit hewan pengerat.
Tapi masih ada satu harapan yang tersisa untuk memastikan bahwa jejak tersebut adalah individu badak jawa baru, yakni kamera jebak yang jaraknya 500 meter dari titik kamera jebak pertama berada.
Lagi-lagi semesta belum menghendaki tim untuk melihat rekaman anak badak jawa. Nasibnya lebih nahas lagi, kamera jebak ditemukan 50 meter dari lokasi pemasangan seharusnya. Diduga, pemburu burung mencopot lantas membuangnya.
Cerita mencari jejak badak jawa itu terekam dalam catatan Ekspedisi Badak Jawa Kantor Berita Antara pada Mei 2022.
Selama 17 hari, tim Antara dibantu Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dan warga menjelajahi taman nasional paling barat pulau Jawa untuk merekam langsung aktivitas badak jawa di kantung habitat terakhirnya.
Desa Ujung Jaya
Menerjunkan tim sebanyak empat orang ditemani lima porter (pemandu) selama 17 hari ke belantara hutan menjadi pengalaman pertama bagi tim Kantor Berita Antara. Ekspedisi ini menjadi pilot project untuk ekspedisi taman-taman nasional lainnya di Indonesia.
Bukan hanya membutuhkan fisik yang kuat, mental baja juga bakal menentukan kelancaran ekspedisi. Tim Antara terus berbenah dan mematangkan persiapan sejak dua bulan sebelum pemberangkatan.
Penyeragaman pemahaman, pengecekan persiapan, logistik alat dan bahan, serta evaluasi menjadi menu setiap hari sebelum pemberangkatan.
Saat perizinan dikantongi dan informasi terakumulasi, tim Antara bergerak menuju Desa Ujung Jaya. Desa terakhir yang menjadi pintu masuk ke hutan belantara.
Jalan berbatu, berlubang, tanah merah, dan tentunya licin sebelum menuju desa terakhir seolah menjadi ucapan selamat datang bagi Tim Antara. Tim harus melewati jalanan yang "buruk" itu kurang lebih tiga jam lamanya. Tak ada jalan lain untuk bisa sampai ke desa ini.
Setibanya di desa, tim disambut hangat oleh warga sekitar. Suasana yang asri serta tradisional yang dibuktikan dengan mendominasinya rumah panggung membawa kenangan tersendiri.
Bagi mereka, rumah panggung dianggap paling aman dan tahan dari ancaman gempa. Apalagi Desa Ujung Jaya masuk ke dalam wilayah rawan gempa karena diapit oleh patahan di selatan Banten dan dari erupsi gunung Anak Krakatau.
Tim menginap di rumah salah satu tokoh warga yang juga anggota Tim Monitoring Badak Jawa. Tim menginap di kediaman Sasmita atau yang biasa yang akrab disapa Kang Mita, yang menjadi informan sekaligus ketua porter dalam ekspedisi badak jawa kali ini.
Jarak dari desa sebelum menuju pintu masuk Taman Nasional Ujung Kulon hanya sekitar satu kilometer saja. Sementara untuk melanjutkan perjalanan hingga masuk ke dalam zona inti menempuh waktu lebih dari delapan jam. Tim bergerak keesokan harinya.
Baca juga: Kala badak menghiasi gunung-gunung di Jawa Barat
Baca juga: Mengenal badak jawa, sang unicorn Ujung Kulon
Awal hutan
Sebelum memasuki hutan, Tim Antara harus menyeberangi Teluk Baraja/Lagon Pakis lewat perahu nelayan kurang lebih 30 menit. Setibanya di daratan taman nasional, perjalanan langsung dihadapkan pada rintangan yang sangat menguras tenaga.
Tanah lumpur dengan kedalaman 10 cm menjadi jalur yang mesti dilalui sebelum ke pos pertama Karang Ranjang. Menariknya, jalur yang dilalui tersebut adalah salah satu habitat macan kumbang. Sepanjang perjalanan, tim kerap menemui jejak kaki predator tersebut, meski para porter diam tak menanggapi agar menjaga mental Tim ANTARA.
"Nanti saja ngomongnya. Ini si Hideung (macan kumbang)," kata Sasmita sambil menunjuk jejak kaki Macan Kumbang.
Sepatu yang digunakan pun mesti diperhatikan. Sepatu gunung sangat tidak direkomendasikan dan harus menggunakan sepatu karet boots panjang. Sebab, selain jalanan yang berlumpur, banyak duri rotan serta tumbuhan pulus (Laportea stimulans). Jika kulit bersentuhan dengan daun pulus maka gatalnya sangat menyiksa.
Selama lebih dari satu setengah jam perjalanan, tim tiba di Resort Karang Ranjang, Di Resort Karang Ranjang ini dulunya merupakan salah satu jalur perlintasan tiga individu badak jawa, salah satunya Samson, badak yang ditemukan meninggal di bibir pantai pada April 2018.
Namun setelah kematian Samson, dua individu lainnya seolah menghilang tanpa jejak. Sejumlah kubangan kering pun ditemukan di sekitar Resort Karang Ranjang yang menjadi bukti kehadiran badak jawa.
Tim lalu bergerak kembali selepas Dzuhur untuk ke titik pemberhentian berikutnya yakni Resort Cibandawoh. Kali ini jalanan tak seberat sebelumnya, tanah lebih stabil tetapi banyaknya batang berduri dari pohon rotan membuat langkah kaki sering terhambat.
Vegetasi menuju Resort Cibandawoh di dominasi tanaman langkap (Arenga Obtussifolia) yang menjulang menutupi tanaman di bawahnya.
Namun yang patut diwaspadai yakni babi hutan dan tawon tanah. Jika kehilangan konsentrasi saat melintas di jalur menuju Resort Cibandawoh maka kemungkinannya ada dua; terperosok ke lubang bekas galian babi hutan atau menginjak sarang tawon tanah yang dapat berakhir fatal.
Perjalanan menuju Resort Cibandawoh memakan waktu lebih dari dua jam sebelum akhirnya disuguhkan bentangan pantai selatan Ujung Kulon. Resort Cibandawoh menjadi titik peristirahatan berikutnya dan dimanfaatkan untuk mengisi energi.
Perjalanan ini baru setengahnya sebelum tiba di base induk Cikeusik. Namun beruntung, saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 15.00 WIB sehingga perjalanan tidak akan menguras tenaga akibat panasnya paparan sinar matahari.
Baca juga: Merawat Ujung Kulon, merawat kehidupan
Baca juga: Populasi badak jawa dan elang jawa bertambah
Tiba di Cibandawoh
Yang menarik dalam perjalanan ini adalah ketika harus menyusuri pantai di Cibandawoh. Rasa lelah ketika sebelumnya harus berjalan lebih dari tiga jam, seolah terbayarkan saat melihat bentangan alam pantai selatan dan hutan hujan tropisn yang belum banyak tersentuh oleh aktivitas manusia.
Deburan ombak Samudera Hindia menjadi teman dalam perjalanan menuju Resort Cikeusik. Saat itu tengah ada bibit siklon sehingga ombak dapat mencapai ketinggian hingga lima meter.
Sepanjang kawasan hutan di Resort Cibandawoh juga merupakan salah satu habitat macan tutul/kumbang. Entah beruntung atau sial, Tim ANTARA tidak menjumpai predator tersebut, namun bekas jejaknya sesekali terlihat membekas di pasir yang tak tersapu ombak.
Perjalanan menyusuri pantai ini kurang lebih 10 kilometer dan membutuhkan waktu sekitar tiga jam lamanya. Sekitar pukul 19.30 WIB, tim akhirnya sampai di base induk Cikeusik. Dan perjalanan mencari jejak badak jawa selama 17 hari akan dimulai dari sini.
Baca juga: Populasi Badak Jawa di TNUK berkembangbiak
Baca juga: Guling-guling di kubangan dan status konservasi badak jawa
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022