Roma (ANTARA) - Penyesuaian kebijakan moneter Amerika Serikat oleh Federal Reserve memiliki dampak besar dan sebagian besar negatif terhadap mata uang euro 19 negara, terutama negara-negara dengan utang tinggi seperti Italia, kata seorang ekonom terkemuka.
Marcello Messori, direktur Sekolah Ekonomi Politik Eropa di Universitas LUISS Roma, mengatakan bahwa di Italia dan di zona euro yang lebih luas, keuntungan jangka pendek diwakili oleh mata uang euro yang relatif lemah, seperti membuat ekspor Italia dengan harga euro lebih murah dan menarik lebih banyak pariwisata dari luar zona euro, tidak akan cukup untuk mengimbangi kelemahan mata uang.
"Sulit untuk membayangkan bahwa prospek jangka panjang dari kawasan ekonomi penting seperti kawasan euro dapat didasarkan pada pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor," kata Messori dalam sebuah wawancara dengan Xinhua.
Federal Reserve AS menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada Juni dan Juli sebagai bagian dari upaya yang luas untuk meningkatkan biaya pinjaman dan memperlambat inflasi. Langkah pada Juni adalah kenaikan suku bunga tunggal terbesar di AS sejak 1994, dan setelah kenaikan Juli, suku bunga acuan AS berada pada level tertinggi sejak Desember 2018.
Bank Sentral Eropa (ECB) telah mengikutinya, menaikkan suku bunga acuannya sendiri sebesar 50 basis poin pada Juli, yang merupakan kenaikan suku bunga pertama untuk zona euro dalam 11 tahun.
Baik Federal Reserve AS maupun Bank Sentral Eropa mengatakan kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Salah satu akibat dari pergerakan tersebut adalah dolar telah menguat terhadap euro, beberapa kali melampaui nilai euro pada pertengahan Juli dan sejak itu diperdagangkan secara luas sejalan dengan euro.
Menurut Messori, langkah Federal Reserve AS mungkin telah membantu memaksa Bank Sentral Eropa. "Bank Sentral Eropa harus memperkuat kebijakan moneter ketat untuk menghindari ketertinggalan dalam struktur suku bunga karena kebijakan moneter ketat Federal Reserve," kata Messori.
Dia mengatakan motif lain di balik langkah Bank Sentral Eropa adalah untuk memberikan dukungan untuk euro, yang tanpanya mata uang bisa kehilangan lebih banyak kekuatan terhadap dolar.
Messori mengatakan tantangan terkait inflasi yang dihadapi Bank Sentral Eropa lebih besar daripada di AS karena negara-negara Eropa lebih bergantung pada impor energi dan rantai pasokan internasional yang kini terganggu oleh krisis Ukraina yang sedang berlangsung, yang telah memicu peningkatan harga energi dan persediaan makanan yang terbatas.
"Menangani kemacetan pasokan lebih sulit untuk dihadapi dengan kebijakan moneter daripada kenaikan harga yang diciptakan oleh permintaan yang lebih tinggi," kata profesor itu.
Sementara Italia - eksportir terbesar kedua Uni Eropa setelah Jerman dan tujuan pariwisata global utama - akan melihat beberapa keuntungan jangka pendek dari euro yang lebih lemah, Messori mengatakan masalah jangka panjang bagi negara yang berasal dari kebijakan moneter Bank Sentral Eropa dapat menjadi sulit karena defisit negara yang tinggi. Mata uang yang lebih lemah membuat pembayaran utang dan penjualan utang baru menjadi lebih mahal.
Italia memiliki salah satu tingkat utang publik tertinggi di dunia bila diukur sebagai persentase dari produk domestik bruto negara itu.
"Negara-negara dengan utang publik yang tinggi tidak memiliki kapasitas fiskal yang signifikan untuk membantu menangani kemungkinan fase resesi atau untuk menangani kemungkinan stagflasi," kata Messori.
"Dalam kasus Italia, menurut saya kemungkinan dampak dari perubahan Kebijakan Moneter Eropa dan dampak perubahan kebijakan moneter AS sangat signifikan."
Baca juga: Dolar jatuh, tarik kembali keuntungan dari data pekerjaan AS
Baca juga: Aktivitas pabrik zona euro terkontraksi di Juli karena khawatir resesi
Baca juga: Euro menetap di dekat posisi terendah 3 bulan terhadap pound
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022