"Kalau kualitas suara kurang, video langsung dianggap jelek. Kalau audionya terasa mengganggu, (penonton) langsung melewatinya," kata Rahabi dalam Kampanye Program Budaya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset, dan Teknologi, Jakarta, Rabu.
Sebaliknya, tayangan yang visualnya kurang bagus tetapi punya kualitas audio yang mumpuni masih bisa dinikmati dan dicerna oleh penonton. Oleh karena itu, dia menyarankan orang-orang yang ingin membuat konten video agar memperhatikan juga masalah suara sehingga tercipta sebuah produk kreatif yang menarik untuk mata serta telinga.
Satu tips sederhana yang bisa diterapkan adalah menggunakan mikrofon kecil yang dipasang di dekat mulut agar suara menjadi lebih jernih, serta meminimalkan suara bising yang bisa mengganggu telinga penonton. Jika tidak ada mikrofon, setiap pembuat konten bisa merekam dengan jarak dekat sehingga suara terdengar lebih jelas, atau memilih tempat dan waktu yang kondusif.
"Pastikan yang mau terdengar memang yang ingin disampaikan, jangan ada suara mengganggu. Kalau sedang di luar lalu ada bajaj lewat, berhenti dulu, ulang lagi, cari tempat sepi atau malam hari saat sepi," saran dia.
Video-video pendek kian digandrungi dan bertebaran di platform media sosial. Untuk melengkapi video, Rahabi juga menyarankan setiap pembuat konten untuk menambahkan teks agar informasi bisa dicerna lebih mudah oleh penonton.
"Teks mengganti pendengaran, yang ditangkap visual wajib ada tapi informasi harus sampai, kadang-kadang visual saja kurang cukup."
Baca juga: Mengenal jenis konten sederhana namun punya tempat di media sosial
Baca juga: Seperti apa tipe pemengaruh paling populer?
Baca juga: Cakap Digital dan upaya tingkatkan literasi digital
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022