Jakarta (ANTARA News) - DPR RI meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap kontrak minyak dan gas bumi (migas), khususnya yang dilakukan oleh perusahaan asing bermasalah dalam koridor kontrak bagi hasil (Kontraktor Production Sharing/KPS). "Atas rekomendasi dan persetujuan Komisi VI dan VII DPR RI, pimpinan DPR telah mengeluarkan surat kepada BPK untuk dilakukan audit menyeluruh terhadap para KPS bermasalah, termasuk kontrak oleh ExxonMobil pada lapangan minyak Cepu," kata Ketua Komisi VI DPR, Didik J. Rachbini dalam diskusi "Penghematan Cost Recovery Migas" di Jakarta, Kamis. Menurut Didik, hasil migas bagi Indonesia selama ini telah "habis" menjadi ladang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sehingga manfaat yang mengemuka saat ini adalah Indonesia dikenal kaya dengan sumber daya alam, khususnya migas, tetapi rakyatnya tetap miskin. Salah satu biang kerok dari itu semua, lanjut Didik, KPS dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas), khususnya pengelolaan dan pengendalian "cost recovery" (CR) yang potensinya mencapai Rp52 triliun. "Cost recovery adalah ladang KKN yang luar biasa dan ini adalah seperti puncak gunung es dari mata rantai yang sangat merugikan bagi bangsa Indonesia," kata Didik. Cost recovery merupakan pengeluaran pemerintah untuk membiayai investasi eksplorasi dan pengembangan lapangan migas yang dilakukan oleh semua perusahaan migas (KPS) yang beroperasi di Indonesia. Menurut Didik, nilai CR per tahunnya mencapai Rp52 triliun (2004) dan selama ini, isunya cenderung diabaikan oleh pemerintah karena tidak banyak yang mengetahui karena sangat tidak transparan dan jika pun ada di-peties-kan karena sangat sensitif dan banyak konflik kepentingan. "Indikasi permainan dibalik CR ini sangat massal dan masif. KPS dengan direstui oleh BP Migas melakukan `mark up` misalnya, sebuah alat yang umurnya lima tahun dan nilainya sudah nol bisa diangkat kembali untuk dimasukkan ke dalam CR," katanya. Bahkan, untuk sebuah program Corporate Social Responbility (CSR) dari para KPS itu dimasukkan dalam CR, bukan dari penghasilan bersih KPS itu sendiri. "Ini artinya, negara juga yang membiayai dengan cara mereka menalangi dulu dan kemudian ditagihkan ke negara via CR," kata Didik. Akibatnya, pengelolaan Migas di tanah air tidak efisien. "Bukti adanya inefisiensi itu adalah tren minyak produksi minyak dalam lima tahun terakhir menurun tetapi CR-nya justru naik. Jika dulu ini dilakukan Pertamina dalam situasi produksi minyak naik dan CR juga naik, masih lumayan, tetapi kini sebaliknya. Ini tanggung jawab BP Migas," tukas Didik.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006