Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap modus tersangka Irfan Kurnia Saleh (IKS) dalam pengadaan Helikopter Angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI AU tahun 2016-2017.

KPK mengonfirmasi hal itu kepada tiga saksi yang diperiksa untuk tersangka IKS selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG) di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (4/8).

"Dikonfirmasi, antara lain terkait dengan dugaan adanya penggunaan perusahaan tertentu oleh tersangka IKS untuk dijadikan seolah-olah sebagai rekanan dalam pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI AU Tahun 2016-2017," ucap Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat.

Baca juga: KPK dalami proses hingga teknis pengadaan helikopter angkut AW-101

Tiga saksi yang diperiksa, yakni staf technical support PT DJM 2013-2017 Adhitya Tirtakusumah serta dua pihak swasta Raina Abednego dan Bennyanto Sutjiadji.

Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan pada Mei 2015, IKS bersama Lorenzo Pariani (LP), sebagai salah satu pegawai perusahaan AW, menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu masih menjabat sebagai Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI AU dengan pangkat Marsekal Muda TNI (bintang dua) di Markas Besar TNI AU di Cilangkap, Jakarta Timur.

Dalam pertemuan itu, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan Helikopter AW-101 dengan konfigurasi VIP/VVIP TNI AU. Di lingkungan TNI AU, hanya ada satu skuadron udara yang memiliki armada dalam konfigurasi VIP/VVIP, yaitu Skuadron Udara 17 VVIP yang kemudian organnya dimekarkan menjadi Skuadron Udara 45 VVIP (khusus helikopter angkut kepresidenan).

Baca juga: KPK panggil delapan prajurit TNI AU jadi saksi kasus helikopter AW-101

IKS yang juga menjadi salah satu agen AW diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit Helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS, di mana harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit Helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar).

Selanjutnya pada November 2015, Panitia Pengadaan Helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang IKS untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.

Hal itu tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung.

Pada 2016, pengadaan Helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus, yang hanya diikuti dua perusahaan.

Baca juga: KPK perpanjang masa penahanan tersangka korupsi helikopter AW-101

Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan. Adapun harga penawaran yang diajukan IKS masih sama dengan harga penawaran pada 2015, yakni senilai 56,4 juta dolar AS, dan disetujui pejabat pembuat komitmen (PPK).

IKS diduga aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy (FA) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).

Terkait persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan diduga IKS menyiapkan dan mengkondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang dan disetujui PPK.

Untuk proses pembayaran yang diterima IKS diduga telah 100 persen. Adapun faktanya ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.

KPK menduga akibat perbuatan tersangka IKS mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022