Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut pembayaran setoran keuntungan dari tiga stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik PT Tuah Sejati sampai putusan perkara berkekuatan hukum tetap.

"Menetapkan terdakwa II PT Tuah Sejati agar tetap mengelola aset usaha berupa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN), stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji (SPPBE), dan melanjutkan penyetoran keuntungan aset usaha ke rekening penampungan KPK RI sampai putusan perkara 'a quo' berkekuatan hukum tetap," kata Jaksa JPU KPK Agus Prasetya saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

PT Tuah Sejati dan PT Nindya Karya (Persero) menjadi terdakwa dalam perkara dugaan korupsi Proyek Pembangunan Dermaga Bongkar Sabang Tahun Anggaran 2006-2011 yang merugikan keuangan negara senilai Rp313,345 miliar.

Baca juga: KPK rampungkan penyidikan kasus korupsi PT Nindya Karya

Ketiga stasiun pengisian bahan bakar itu adalah SPBU di Jalan Sultan Iskandar Muda Desa Gp Pie Kecamatan Meuraxa Ulee Lhueue, Kota Banda Aceh; SPBN Nomor 18.606.231 di Jalan Sisingamangaraja PPI Lampulo Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh; dan SPPBE di Jalan Kantor Koramil Meurebo, Desa Peunaga Reyeuk Kecamatan Meurebo, kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.

Alasan penyitaan karena di persidangan telah terungkap fakta aset usaha berupa SPBU, SPBN, dan SPPBE adalah diperoleh atau merupakan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan PT Tuah Sejati.

"Bahwa demi mempertimbangkan asas kemanfaatan dan mengingat aset tersebut menjadi sarana vital bagi kebutuhan masyarakat Aceh, maka Penuntut umum akan melakukan perampasan aset untuk negara yang pelaksanaannya diserahkan kepada PT Pertamina (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara yang memiliki kompetensi berkaitan dengan keberlangsungan pengelolaan aset tersebut," tambah jaksa.

Baca juga: KPK panggil dua korporasi terkait korupsi pembangunan dermaga Sabang

Perampasan ketiga aset tersebut menurut jaksa sudah sesuai dengan dakwaan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dalam rangka pemenuhan kekurangan uang pengganti.

Dalam perkara ini, JPU KPK menuntut PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati untuk dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp900 juta.

Kedua perusahaan juga dituntut hukuman pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dengan rincian PT Nindya Karya (Persero) membayar sebesar Rp44.681.053.100. Diketahui PT Nindya Karya telah menyerahkan seluruh uang senilai Rp44.681.053.100 sehingga JPU KPK menuntut penyitaan seluruh uang tersebut.

Sedangkan PT Tuah Sejati dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada negara sebesar Rp49.908.196.378, namun baru menyerahkan sebesar Rp9.062.489.079 sehingga PT Tuah Sejati dituntut untuk membayar sisa pidana tambahan.

PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati dinilai terbukti melakukan dakwaan primer dari Pasal 2 ayat 1 UU jo Pasal 18 Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Baca juga: Nindya Karya dan Tuah Sejati dituntut bayar masing-masing Rp900 juta

"Hal-hal yang memberatkan, perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Para terdakwa melakukan korupsi dengan berkehendak aktif, bertujuan memperoleh keuntungan di luar kewajaran. Proyek fisik masih dapat dipergunakan namun menurut hasil audit kualitasnya tidak sesuai spek dan tidak dapat dimanfaatkan secara sempurna," ungkap jaksa.

Sementara hal yang meringankan, para terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa I telah mengembalikan seluruh hasil tindak pidana dan terdakwa II telah mengembalikan sebagian hasil tindak pidana.

Duduk di kursi terdakwa mewakili PT Nindya Karya adalah Direktur Utama PT Nindya Karya, yaitu Haedar A Karim dan mengikuti persidangan dari Aceh melalui sambungan "video conference", yaitu Direktur Utama PT Tuah Sejati Muhammad Taufik Reza.

Sidang dilanjutkan pada 19 Agustus 2022 dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pleidoi).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022