Magelang (ANTARA) - Mumpung waktu belum tiba puncak pesta demokrasi, pameran lukisan "Mata Air Bangsa" mungkin boleh dipandang sebagai ajakan kepada khalayak berziarah terlebih dahulu ke sumber-sumber hakikat berbangsa serta bernegara yang bersatu, berkebebasan, dan bineka.
Umumnya, perjalanan menuju mata air tak mudah. Apalagi menemukannya. Hal gampang dijumpai, sumber air berupa belik. Airnya kasat mata tertampung di situ, lalu mengalir menjadi saluran hingga sungai.
Untuk sampai lokasi mata air seringkali ditempuh jalan setapak yang terjal, naik turun gunung, terkadang tanah dan batuannya licin, menembus hutan, dan mungkin juga ada yang mesti merambat tebing.
Belum lagi, jika mata air di kawasan gunung berapi. Saat erupsi dahsyat Gunung Merapi 2010 disusul banjir lahar hujan 2011, konon berdampak hilang atau beralih sumber air bagi petani dan warga kampung-kampung kawasan itu. Mereka harus berjerih payah lagi menemukan mata air sumber kehidupan sehari-hari pascabencana.
Betapa penting sumber air membuat petani gunung titis menemukan, setia merawat, lalu menyalurkan menjadi irigasi. Sebagian lainnya menjadi disalurkan menggunakan bambu hingga perkampungan untuk air bersih kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Dengan kecerdasan alamiah dan kearifan lokal, bahkan mereka mengolah kekayaan mata air menjadi tradisi budaya merawatnya. Rentetan tradisi itu berupa sapuan kreativitas berkesenian rakyat. Dalam merti dusun di masyarakat Jawa, misalnya, menjadi tradisi merawat dan menjaga lingkungan tuk atau mata air agar setia mengalirkan air untuk mereka.
Kerumitan mereka menemukan, menjaga, dan memanfaatkan mata air, seakan teranalogi dalam cerita Oei Hong Djien, pemilik Museum OHD Kota Magelang, Jawa Tengah, tempat pameran "Mata Air Bangsa" selama 31 Juli-28 November 2022.
Judul lengkap pameran menyuguhkan 33 lukisan karya 23 seniman Indonesia dan 11 lukisan lama koleksi museum tersebut, "Mata Air Bangsa: Persembahan untuk Gus Dur dan Buya Syafii Maarif" dengan kurator, pengajar Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo.
Baik dalam katalog pameran maupun saat pembukaan pameran, Pak OHD --sebutan terhadap dokter Oei Hong Djien-- antara lain menceritakan cukup lama dan rumit persiapan pameran sejak 2019 hingga pembukaan penyelenggaraan, Sabtu (30/7) petang.
Pameran harus melewati lembaran-lembaran peristiwa rumit, antara lain karena pandemi COVID-19 mengharu biru dua tahun terakhir, Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko yang sedianya membuka pameran ternyata harus dirawat karena tertular virus, Wali Kota Magelang Muchamad Nur Aziz batal hadir karena dalam praktik kedokterannya sedang menangani pasien gagal ginjal, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir harus rehat karena kegiatan padat hingga kelelahan.
Waktu pembukaan pameran oleh Kepala Kevikepan Kedu Romo Antonius Dodit Haryono molor dari rencana awal karena Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki dalam perjalanan dari Yogyakarta mencapai Kota Magelang mesti berdamai dengan kemacetan lalu lintas akhir pekan bertepatan libur 1 Sura (kalender Jawa).
Pembukaan pameran, antara lain dihadiri seniman, budayawan, pemerhati seni, putri kedua Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid) dan Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah Syukriyanto, pemimpin Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin Kabupaten Rembang K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), pimpinan Ponpes Asrama Perguruan Islam (API) Tegal Rejo, Kabupaten Magelang K.H. Muhammad Yusuf Chudlori, pemimpin Wihara Mendut Biksu Sri Pannavaro Mahathera, tokoh umat Buddha Jawa Tengah David Hermanjaya, dan Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Magelang I Gede Mahardika.
Sebelum membaca puisi "Durrahman" (2010) karya Joko Pinurbo, Butet Kertaradjasa berseloroh berkaitan dengan Uskup Ruby batal membuka pameran tersebut. Uskup tidak hadir, tetapi digantikan kosternya. Koster sebutan orang yang mengurus keperluan pastor dan gereja Katolik sehari-hari. Dalam Film Soegija (2012) tentang Monsinyur Albertus Sugiyapranata (1896-1963), Butet berperan sebagai Koster Toegimin.
Suasana keindonesiaan yang bineka dihadirkan para polwan anggota Polres Magelang Kota dipimpin langsung Kapolres AKBP Yolanda Evalyn Sebayang, dengan masing-masing mengenakan pakaian berbagai adat nusantara dalam tugas menerima tamu dan pengunjung pameran.
Menuju pemilu
Hari menuju puncak pemilu serentak 14 Februari 2024, berupa pemilu presiden dan pemilu legislatif, sudah diluncurkan sejak 14 Juni 2022 oleh komisioner penyelenggara pemilihan umum. Tahapan-tahapan pemilu dikerjakan penyelenggara dengan dukungan berbagai pemangku kepentingan terkait berlandaskan regulasi.
Suhu politik tentunya semakin dipanaskan melalui manuver partai politik dan para elitenya untuk menjangkau keterlibatan secara optimal pemilik suara melalui kehadiran ke bilik suara, guna melukiskan realitas kehidupan demokrasi di negeri ini.
Pengamat politik dan lembaga survei tentunya juga hadir dalam waktu dan ruang pesta pemilu ini dengan membangun narasi ilmiah-rasional atas analisa perkembangan politik terkini dari waktu ke waktu.
Bara ketegangan suasana hidup bersama masyarakat bawah dijaga agar tak berwujud benturan fisik, tebaran ujaran kebencian, pembelahan sosial akut, dan mencegah pemanfaatan media
sosial secara banal.
Media massa juga dituntut cermat, berhati-hati, dan memperkuat kibaran etika jurnalistik serta undang-undang tentang pers agar menghadirkan peran sebagai agen pelayan terang pikiran dan nurani, jembatan informasi secara sehat, dan memperkuat kualitas demokrasi bagi kemaslahatan bangsa.
Pesan untuk sepatutnya dicermati terus-menerus telah dihadirkan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat peluncuran tahapan pemilu. Tahapan Pemilu 2022 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) Pasal 167 Ayat 6, bahwa tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Penyelenggara pesta demokrasi harus betul-betul menjaga dan meningkatkan moralitas pemilu mendatang. Masyarakat harus memahami dengan baik hak dalam pemilihan sehingga berpartisipasi tinggi melalui pemberian suara.
Pentingnya pemilihan mendatang yang bermartabat perlu dihadirkan, supaya catatan miris Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2014 yang ditandai praktik politik identitas dengan dampak pembelahan masyarakat seakan tak kunjung rampung itu, tak lagi berkesempatan menambahkan lembarannya.
Pendidikan politik secara masif kepada warga harus ditempuh secara sungguh-sungguh supaya mereka menghadirkan riuh pesta demokrasi semakin bermartabat, memuliakan nilai-nilai demokrasi, serta memperkukuh semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Semangat itu sebagaimana dirintis kehadirannya oleh para pendiri bangsa, diperjuangkan melalui jiwa raga para pahlawan, dihidupi dengan tekun melalui taburan pemikiran, petuah, kritik, dan api kejernihan nurani para guru bangsa, serta dirawat terus-menerus hingga generasi bangsa yang 17 Agustus mendatang merayakan tahun ke-77 kemerdekaan sebagai negara.
Teladan
Penyelenggaraan pameran "Mata Air Bangsa" diwanti-wanti Gus Mus agar terhindar dari kepentingan kultus individu, namun menebarkan inspirasi keteladanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diwariskan para pendahulu dan guru bangsa.
Kalau pengunjung pameran melangkah pintu masuk Museum OHD disuguhi lukisan karya G. Joko Susilo tentang Gus Dur-Buya Syafii saling mendekap dengan di tengahnya bendera Merah Putih, tentu dua sosok guru bangsa itu menjadi kekuatan batin penting bagi negeri ini.
Selain mengemukakan berbagai figur bangsa lainnya, kurator Wisetrotomo menyebut Gus Dur-Buya Syafii memang selayaknya terus hadir dan dihadirkan sebagai bagian teladan utama merawat bangsa.
Mengenang kedua sosok itu bagaikan perjalanan ziarah mencapai satu mata air bangsa. Begitu pula mengenang pahlawan, pendiri bangsa, dan guru bangsa lainnya, yang dalam karya-karya pameran itu tidak mesti berupa figur melainkan pesan maknawi, seperti "Wirid Visual: Nusantara" (Butet Kertaradjasa), "Gulma Bangsa" (Laila Tifah), "Perisai" (A. Mustofa Bisri), "Macan Kertas" (Djoko Pekik), "Maka Aku Ada" (Yaksa Agus), "Berita: Nafsu dan Boneka" (Mahdi Abdullah), "Akulah Pendukungmu" (Bambang Herras), dan "Political Acrobat" (Heri Dono).
Bersama para pendahulu, tokoh, dan guru bangsa lain, Gus Dur-Buya Syafii sebagai mata air-mata air bangsa karena mengalirkan tak henti-hentinya secara kritis, menyentuh, bahkan tak jarang menohok, tentang berbagai hal yang semestinya disampaikan, seperti menyangkut keberadaban, kejujuran, komitmen, dan integritas.
Oleh karenanya, menyimak dengan saksama karya-karya "Mata Air Bangsa" seakan mencapai peziarahan kebangsaan untuk meneguk semangat keindonesiaan, agar ke kotak suara dengan langkah pasti.
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022